Puisi Dedikasi

inspiratif humanis

Tamsih

Mungkin purnama lupa berkisah
Tentang catatan rindu tersimpan
Di kapas-kapas hitam awan penghujan
Menderai kemarau

Dua puluh enam tahun lalu, kita bertemu
Kau, menyihirku
Lemah aku terbuai aksara manis madu
Laku penuh decak, pesonamu

Karenamu, gulungan waktu
menjadi pelangi
Tangis, tak lagi menyayat
Semua warna cinta pun luka patah hati
Indah, diatas kertas putih bergaris
Bernama puisi.

“Tak ada hal buruk yang bisa menyakitiku, bila aku bijak memaknainya”, tersirat pesanmu.

Tamsih, guruku yang manis
Terima kasih,
Darimu, aku yang sekarang.

Brussel, 26.11.18

Selamat Hari Guru
(Tribute untuk Ibu Tamsih, guru Bahasa Indonesia SMPN 6 Semarang)

Sajak Untuk J

Hey J,
Denganmu denting hujan adalah melodi
Halilintar symphony syair hati
Iramamu cinta yang tenang
Menanggal sedih menyisa kasih

Hey J,
Kala harmoni tercabik gusar
Bisikkan tentangnya
Aku, pundak dan telinga

Kokoh menjadi teman yang jernih

Brussel, 23.11.18

 

NAK

Nak, jangan gamang…
Kekalahan juga indah. Dia mengajarkan cinta dan empati.
Memandang ketimpangan, penderitaan lalu bijak memahami.
Tidak butuh berbangga diri berlarut-larut saat menang. Karena menang dan kalah sama-sama melahirkan kepuasan.

Saat aku punya bekas luka kekalahan, aku bangga!
Aku tunjukkan, aku telah mencoba dan belajar darinya.
Aku yakin, lawan yang melihatku akan berpikir dua kali sebelum berani melukai.

Nak,
Berjuanglah dan setia terhadap apa yang kau yakini.
Kini dan nanti.

Brussel, 2 Maret 2019

SANG RAJAWALI

O, raja burung angkasa…
sorot matamu membidik ketidak-adilan,
kesemena-menaan, parasit kehidupan.

Paruh kuatmu siap mematuk ikan-ikan bandit, curut-curut berdasi, pun ular-ular berkongsi.

Cakarmu, ancaman semua musuh
Tenangmu, gigil cemas mereka
Tajam batinmu, menggetarkan jiwa-jiwa terkontaminasi arus hitam manipulasi.

Terbanglah terbang, rajawaliku…
kepakkan sayap ideologi
sayap kuat kejujuran dan integritas

Teruslah mengangkasa, rajawaliku…
letakkan ragu, tamatkan hebatmu!

Brussel, 28.04.18

 

TENTANG SRI

Magnolia pertama menawarkan gairahnya, nafas baru kebebasan kau hirup di dunia biru, Sri

Ketika tapakmu terus melaju, gerbang kota menyambutmu, semilir angin musim semi menyulut harap. Mimpi masa depan tak lagi berjarak

Sri, wangimu adalah senyum yang mengental
Gincu, baju dan alis baru yang ditawarkan di butik-butik megapolitan
tak serta merta mencengkeram nafsu, giur pun liurmu.

Sahaja paradigma menderu,
melaju, lahir di rahim pemahamanmu
membeda tiap sikap,
budaya,
dengan mata kasih sayang.

Sri, cermin tua di sudut jendela kampung halaman masih mengenalimu,
wanita jawa dengan akal budi yang tak tercemari

Sri, engkaulah Sang Pemanah
bidikanmu adalah masa depan
rumah kebahagiaan dan kebersamaan
harmoni mata angin
perkawinan barat dan timur dalam keindahan.

Sri, waktu hanya detik-detik membara di siang dan malam
teruslah menapak
di dunia asing yang tak lagi asing
lalu, pulanglah
ketika kampung halaman lapar akan gagasan
haus akan hakekat ilmu
disanalah untaian melodi bakti untuk negerimu.

Brussel, 5 April 2018 – Sajak untuk Srikandi-Srikandi Indonesia

 

Bahasa Cinta

Ejaan pemahaman yang disempurnakan, menuturkan hanya keindahan

Abjad-abjad kebenaran terangkum anggun, dalam selaras diftong, koma dan titik

Kepercayaan terbaca lantang – menyusuri tiap jeda – menutur tiap sabar

Dalam rupa kanak-kanak, kami belajar. Membaca kalimat cinta dengan kasih, mengeja kekuatan doa di tiap sudut linguistik, menyusun kata-kata suci, menghindari konfrontasi verbal – menyakiti, mengotori.

Dalam rupa kanak-kanak, kami mengerti. Logat dialek bukan bahan ejek, dialah nyanyian bijak – dongeng jiwa-jiwa besar di malam penuh cemas

Kata-kata serapan, konsonan pun vokal bersinergi lembut dalam tiap ucap – menguntai makna, membuka jendela percakapan dalam suara semesta, memahami perbedaan, memaknai keakraban

Dalam rupa kanak-kanak, kami berguru. Bahasa jiwamu, bahasa budimu, bahasamu, Ibu…

 

Brussels, 5 April 2018 – Sajak untuk Seluruh Ibu Indonesia di manapun engkau berada.

SANG MUSAFIR

Jejak kakinya telah menapak separuh dunia. Mata elangnya menyaksi seribu satu mustika – sudut sudut arsitektur bangsa, beragam budaya dan busana

Tangannya telah menggenggam pasir ribuan pantai. Pinggulnya menari ratusan irama tradisi –

melodi kebajikan, ideologi – simponi identitas negeri

Lalu kembali Sang Musafir ke tanah airnya. Asing jiwanya tersesat.

Dia bertanya pada kawan lama, “Kemana dewi dewi berkebaya berselendang sutra? Kemana putra bangsa bersarung peci? Kemana jiwa jiwa nusantara – ramah tama, senyum elok tersohor ke mayapada ?”

“Semua telah mati di telan jaman,” jawab Kawan Lama.

Mulut Sang Musafir membisu seketika

Di setiap ruang, tercengang. Hanya mendapati pekik kebencian, seruan pembunuhan. Lalu dimana lagi letak bijak ?

Gusar jiwanya. Bagaimana kelak ia mengkisah sejarah – tentang kearifan pulau pulau surga, tentang suku suku adat ribuan tradisi. Bagaimana riwayat dongeng dipahami, sedang penduduknya tidak mengerti bahasa sendiri!

Dia beranjak, Sang Musafir tak lagi meratap, karena ratapan tidak membuah apapun – kecuali kecemasan dan duka.

Dia hanya bisa memegang teguh tonggak budaya. Dia tak mundur meski badai jaman membodohi. Dia hanya menutur dan mengajar keteladana pada generasi generasi masa depan

Dan semua orang menjuluki dia Sang Musafir Gila.

“Untuk apa merisaukan julukan, tak apa disebut gila,” katanya. “Karena itulah hakekat sebuah cinta.”

Maka, inilah kisah tentang Sang Musafir yang asing di negeri sendiri.

 

Brussel, 20.11.18

Koleksi Puisi Naning Scheid lainnya:
Puisi Gokil Puisi Galau Puisi Masygul Puisi Satire Puisi Obscure Puisi Sedih Puisi Semarangan Puisi Romantis Puisi Lebay

10 Comments