Lima Masa Lima Makna

Puisi “Mantanku Ada Lima” dan cerpen “Cincin Pertunangan” terpilih masuk dalam buku antologi yang diselenggarakan oleh Penerbit Ellunar. Tak hanya mendapat sertifikat dan buku, penulis juga mendapat hadiah berupa check 50K untuk masing-masing karya yang masuk.

Penerbit Ellunar

MANTANKU ADA LIMA

Mantanku ada lima

rupa-rupa gayanya

satu, suka berdusta

dua, pencemburu buta

tiga, hobi pinjam uang

empat, jarang pengertian

lima, pencari-cari kesalahan

Mantanku ada lima,

beda-beda warna kulitnya

yellow ivory, caramel, honey glow

creamy beige, dan golden-espresso

O, Mantan, berapa kali pernah kubilang

bersamaku bukan tanpa efek samping

mulai dari nyeri punggung, lutut dan pusing

hingga gondok, gemas, geram, lalu sinting

Saat itu cintaku padamu asli

setengah gila tapi perduli

sayangku non-stop dari

malam sampai pagi

O, Mantan, sering kujelaskan

Aku, feminis metal milenial

suka sambal dan kepastian

tanpa bumbu gombal – diawetkan

O, Mantan, maafkan

telah memberi candu lalu menghilang

meninggalkanmu saat sangat sayang

Begitulah, memang berat perpisahan

Mantanku ada lima,

rupa-rupa baiknya

macam-macam cintanya

Doaku, semoga kalian bahagia.

Brussel, 21.11.19

Cincin Pertunangan

Aku duduk mematung memandang jenazah Agung. Bibirku terkatup. Perempuan separuh baya di sebelahku meraung-raung, memanggil nama anak lelaki satu-satunya. Tangisnya menyayat seperti sedang dipaksa berjalan di atas bara api. Calon ibu mertuaku itu, memelukku erat. Air matanya bergelimang. Sedang air mataku terus saja membeku, di ujung kelopak mata, enggan meleleh.

“Sabar yaa,” kata seorang ibu pelayat mengusap-usap punggungku.

Hanya anggukan kepala tanpa suara kuberikan. Semua tetangga di kompleks rumah Agung telah mengenalku. Lima tahun pacaran bukan waktu yang pendek. Sejak aku semester satu hingga kini kami berdua telah bekerja. Aku bekerja di Pertamina seperti Papaku, Agung bekerja di Pelindo seperti Papanya.

Mataku menerawang memandang foto sebesar layar televisi 21 inci. Foto yang kuambil beberapa tahun lalu, kini terpampang di ujung keranda. Tertulis Agung Purnomo. Lahir 9 Mei 1992. Meninggal 21 November 2019. Usia 27 tahun.

Suara lantunan Surat Yassin memenuhi seluruh ruangan. Pria yang seharusnya menjadi suamiku kelak, meninggal karena kecelakaan.

Padanya aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Pria tinggi gagah berdada bidang. Otot-otot bahunya sangat maskulin. Matanya sedikit sipit – imut – di atas hidung mancung. Maka saat Papaku ingin menjodohkan aku dengannya, sedikitpun aku tidak menolak. Meskipun aku seorang feminis yang anti perjodohan.

La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim,” ucap Mama Agung tak henti. Aku tak bergeming, seperti mayat hidup.

Masih jelas dalam ingatanku. Lima tahun yang lalu. Saat awal kami pacaran. Agung sering memberikan kata-kata gombal, tapi aku suka. Memujaku sebagai bidadarinya. Kami adalah pasangan ideal. “Sangat serasi, cowoknya gagah dan pintar, ceweknya cerdas cantik aduhai,” begitu kata orang-orang. Orang tua kami masing-masing yakin, cucu-cucunya kelak pasti akan sempurna.

Dengan berjalannya waktu, aku mengenal betul Agung. Dia adalah tipe pemburu; lapar akan petualangan. Dia menyukai lika-liku hidup penuh adrenalin. Dan, hari ini dia meninggal karenanya.

“Mbak Nadya, ada tamu. Teman kuliah,” bisik adik perempuan Agung ke telingaku.

“Suruh masuk saja,” jawabku lirih.

Lia, teman kuliahku dulu segera menghambur ke arahku. Tangisnya pecah. Dramatis. Kini aku diapit dua perempuan histeris. Dadaku sesak. Tapi tubuhku tidak goyah. Meski mereka mengerang-erang dan mengguncang-guncang kedua pundakku.

Aku mencoba menjawab pertanyaan pada diriku sendiri, “Mengapa hatiku sekeras batu. Mengapa tiada tangis di mataku?” Tapi apa juga manfaatnya menangisi seorang playboy pelit. Pria yang hobi dugem, mabuk-mabukan, berfoya-foya dan sering meminjam uang gajiku. Meminta, lebih tepatnya. Karena dia tidak pernah membayarnya. “Kita ini calon suami istri. Uangku adalah uangmu, dan sebaliknya,” katanya. Tapi yang terjadi adalah uangnya selalu menjadi uangnya, sedangkan uangku menjadi uangnya juga.

Tapi bukan karena uang aku tidak menangisi kematiannya. Lebih pada petualangan percintaannya. Dia seharusnya menjadi pacarku yang setia. Tapi dia selalu memberikan waktunya pada wanita-wanita lain. Setiap saat aku memintanya untuk lebih sering bertemu, jawabnya tidak perlu. Toh kami bakal serumah selamanya, alasannya.

Dalam waktu lima tahun pacaran denganku, setidaknya lima wanita dipacarinya pada saat yang sama. Kadang aku yang memergokinya, kadang Agung bercerita dengan sendirinya. Dia putuskan setelah dia bosan. “Jangan kuatir, aku akan selalu kembali padamu,” jelasnya. Aku geram. Tapi Mama dan Papa selalu memintaku untuk bersabar dan rajin istikharah.

“Mohon bersiap untuk shalat jenazah,” kata Pak RT mengumumkan.

Imam mengambil posisi, dan makmum segera berada di belakangnya. Aku meninggalkan ruang tamu dan memasuki kamar tunanganku. Semua tertata rapi seperti hari terakhir aku memasuki kamar ini. Foto-foto kami menghiasi dinding kamar.

“Hipokrit,” ucapku dalam hati. Banyak pria seperti Agung. Selalu pamer foto pacar tapi selingkuh juga lancar. Sering pamer foto keluarga sejalan dengan menggoda wanita lainnya.

Lia menyusulku. Tangisnya belum reda. Blouse hitam yang dia kenakan basah kuyup. Aku hanya meliriknya.

“Ikut bela sungkawa, Na,” katanya.

“Aku yang seharusnya mengatakan itu padamu,” jawabku ringan.

“Maafkan aku,” kata Lia sambil terus menangis. “Aku telah merebut Agung darimu.”

“Merebut? Ah, ngaco kamu! Agung tidak akan menikahi wanita selingkuhannya.”

Lia tertunduk.

“Aku sudah memaafkanmu setahun yang lalu. Sebetulnya aku kasihan padamu. Kamu salah kalkulasi tiga kali, Lia. Pertama, kamu mendekati Agung. Kamu pikir dia bisa membantumu masuk Pelindo. Kedua, kamu pikir dia pria dermawan. Terakhir, kamu yakin Agung akan meninggalkanku untukmu. Agung hanya mahir memberi umpan janji. Tapi kau memakannya.”

Tangisan Lia meledak lagi.

“Saat kamu memakai bajuku dan meminjam uangku tanpa kau kembalikan, aku maafkan. Saat aku tahu perselingkuhan kalian, aku maafkan. Cintaku pada Agung sudah hilang. Sebenarnya kalian berdua cocok. Sama-sama oportunis.”

Lia terus memandang lantai dan airmatanya deras berjatuhan.

“Aku tidak bisa lagi membantumu. Aku juga tidak bisa bertanggung jawab atas bayi di dalam perutmu.”

Lia tersentak. Dia memandangku.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Aku punya teman intel. Dia membantuku mengamati kalian. Aku juga tahu, kecelakaan yang menimpanya. Agung panik kamu hamil. Dia mabuk dan mengemudi. Untuk menemuimu. Memintamu menggugurkan kandungan.”

Lia menjerit. Menelungkupkan wajahnya di atas kasur. Berkali-kali Lia menyebut nama Tuhan dan nama calon suamiku. Aku hanya menghela nafas.

Terdengar suara ketukan dari luar kamar. Seseorang mengabarkan agar aku bersiap karena Agung akan segera disemayamkan.

Di pemakaman, aku menyaksikan tubuh pria yang pernah kucintai itu memasuki liang lahatnya. Kulepas perlahan cincin emas yang melingkar di jari manisku. Kulempar bersama taburan bunga ke dalam lubang sedalam satu setengah meter. Kukubur cincin pertunanganku beserta kisahnya.

Aku berjalan menjauh dari kerumunan. Sebuah mercedes hitam menungguku di ujung jalan. AKP Hardiono telah bersiap mengantarku pulang. Polisi intel itu selalu ada di saat-saat sulitku. Menemaniku di kala hatiku hancur dikhianati sahabat dan tunanganku. Selalu sabar menjagaku.

Mas Dion tersenyum saat aku memasuki mobil. Kusambut senyumnya. Mobil berjalan lambat melewati kerumunan pelayat. Air mataku menitik. Lega. Akhirnya Tuhan menjawab doa-doaku.

Dari jendela kaca, kulihat Lia. Tubuhnya dibopong karena pingsan di sebelah makam.

Naning Scheid