Solidaritas Perempuan dalam Feminisme Gelombang Keempat

Bagaimana kasus pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan di Indonesia?

Apa hubungan solidaritas perempuan dunia #MeToo dan kelahiran feminisme gelombang keempat?

Solidarisme Perempuan Feminisme Keempat

Siapa yang tidak mengenal tagar #MeToo? Atau tagar #MoiAussi #BalanceTonPorc #YoTambién?

Tagar-tagar yang lahir sekitar November 2017, lebih dari satu tahun yang lalu. Namun hari ini, masih banyak perempuan yang menggunakan tagar-tagar tersebut untuk mendapatkan keadilan sosial. Tagar-tagar ini juga menghubungkan dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Seperti Gen X, Milenial, Gen Z dan sebentar lagi Gen Alpha.

Tak bisa dielakkan, di era disrupsi seperti sekarang ini, telah terjadi banyak pergeseran dalam segala hal. Kaum konservatif menganggap hal ini adalah sebuah ancaman. Tapi merupakan angin segar bagi kaum dinamis. Pergeseran aktivitas-aktivitas dari dunia nyata ke dunia maya adalah contoh paling konkrit di era disrupsi. Termasuk dalam perjuangan kaum perempuan.

Melalui media sosial, tagar-tagar tersebut membuka gelombang solidaritas dan memberi kemudahan akses komunikasi bagi seluruh perempuan dunia. Dalam hal ini adalah cita-cita menuntut keadilan terhadap kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan seksual maupun pemerkosaan yang terbungkam selama bertahun-tahun. Perjuangan solidaritas kaum perempuan tidak lagi dilakukan secara lokal melainkan global. Melahirkan gebrakan dasyat, dan menghadirkan kejutan-kejutan di ruang publik.

Jatuhnya Nama-nama Besar

Siapa menyangka seorang Harvey Weinstein, ditangkap pada Mei 2018 di New York melalui kekuatan tagar #MeToo? Dan akhirnya dipecat dari perusahaannya sendiri, The Weinstein Company karena tuduhan pelecehan seksual?

Begitu dasyatnya #MeToo, setidaknya 201 nama-nama pria terkemuka di dunia telah ditumbangkan. Termasuk Bill O’Reilly, Al Franken, Charlie Rose, Matt Lauer, Aziz Ansari, Garrison Kellor, Louis C.K., dan masih banyak lagi. Namun beberapa kolomnist perempuan, seperti Jennifer Wright di HarperBazaar.Com dan Maddison Feller di majalah Elle.Com mengatakan bahwa nama-nama pria tersebut telah kembali pada aktivitasnya. Kembali pada kehidupan normal. Pada saat yang sama, trauma korban masih sangat mengental. Tentu hal ini merupakan fakta yang sangat mengecewakan bagi kaum perempuan terutama para korban. Maka, perjuangan belum selesai.

#MeToo di Indonesia

Di Indonesia sendiri, gerakan #MeToo tidak signifikan. Bukan berarti tidak adanya kasus pelecehan seksual. Banyak sekali kasus, baik pelecehan secara fisik di dunia nyata maupun di dunia maya. Tetapi korban lebih banyak memilih tidak melaporkan dengan banyak pertimbangan.

Menurut Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 oleh Komnas Perempuan, disebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yaitu sebesar 348.446 kasus pada 2017 naik sekitar 25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2016) yaitu sebesar 259.150.

Komnas Perempuan juga menilai bahwa banyak kasus perlu mendapat perhatian. Mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, persekusi online dan offline, maraknya situs dan aplikasi prostitusi online berkedok agama misalnya ayopoligami.com dan nikahsiri.com, ancaman kriminalisasi perempuan dengan menggunakan UU ITE serta kerentanan eksploitasi seksual perempuan dan anak perempuan.

Komnas Perempuan menyayangkan perspektif pejabat publik yang seharusnya bertanggung jawab melindungi perempuan dari kekerasan, justru memojokkan korban. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan akses keadilan, perempuan korban kekerasan kerap menjadi korban kriminalisasi.

Budaya victim blaming sudah mengakar. Sebuah tendensi untuk menyalahkan korban sebagai bagian dari sistem patriaki yang kuat. Hal inilah yang menjadi faktor penghambat bagi para korban untuk berani mengungkapkan kebenaran tentang adanya kasus pelecehan seksual.

Victim Blaming dan Sistem Patriarki

Mengungkapkan kasus pelecehan seksual bagi perempuan adalah hal berat. Setidaknya harus cukup bukti fisik. Saya sendiri telah mengalami beberapa kasus pelecehan yang terjadi baik saat masih tinggal di Indonesia maupun saat tinggal di Belgia. Karena dalam semua kasus, saya selalu bisa melarikan diri dan tidak mengalami kekerasan secara fisik, maka saya memutuskan untuk bungkam.

Kasus upaya pemerkosaan terhadap diri saya pernah terjadi sekitar tahun 2001. Dengan tangan masih gemetar dan suara terbata-bata saya menelpon pacar saya pada saat itu. Menceritakan sekaligus meminta dukungan moral. Tetapi yang saya terima justru kritikan. Karena saya tidak memakai hijab, maka menurut dia adalah wajar saya mendapat perlakuan seperti itu. Untung tidak semua orang di Indonesia seperti dia. Inilah yang saya maksud dengan victim blaming atau menyalahkan korban. Berbeda saat terjadi pelecehan sekitar tahun 2007 di Belgia. Seluruh keluarga, teman, sahabat menyatakan prihatin dan mengecam agresi yang dilakukan oleh seorang imigran Timur Tengah.

Pelecehan bisa terjadi di mana saja. Tetapi reaksi melindungi korban adalah yang utama. Banyak kasus yang menunjukkan lemahnya penanganan terhadap kasus pelecehan. Sistem patriarki di Indonesia mengajarkan seksisme dengan pembagian peran gender yang kolot. Sistem yang dimulai dari rumah dan secara tidak sadar diteruskan di sekolah serta lembaga-lembaga negara.

Terlepas dari semua kasus-kasus pelecehan, tidak ada seorangpun yang berwenang berbicara keras mengutuk seksisme di masyarakat. Budaya ini sudah meresap dan mengakar dan diperparah dengan meningkatnya konservatisme agama. Melanggengkan budaya victim blaming di tengah era disrupsi.

Apakah Perempuan di Indonesia adalah Warga Negara Kelas Dua?

Globe Asia pernah menyoroti pernyataan Tito Karnavian yang mengejutkan saat wawancaranya dengan BBC Indonesia. Mungkin niat Pak Tito adalah melindungi bawahannya dalam lembaga kepolisian, namun justru memicu pertanyaan, “apakah sedemikian kuatnya sistem patriarki hingga selalu meletakkan perempuan sebagai warga negara kelas dua?” Seharusnya lembaga negara seperti kepolisian adalah yang terdepan dalam melindungi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bukan memberi pertanyaan insensitif terhadap korban, seperti: “apakah anda baik-baik saja atau nyaman setelah diperkosa?” Meskipun kemudian terjadi penjelasan lebih lanjut tentang diksi “nyaman”, tapi pertanyaan seperti itu jelas melukai korban.

Pada kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan mahasiswa Teknik UGM kepada mahasiswi Fisipol UGM saat menjalani KKN di Pulau Seram, Maluku tahun 2017 silam juga menimbulkan polemik. AN sebagai korban justru terhukum dengan nilai KKN yang rendah dibanding teman satu kelompok.

Ketika AN mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga. Bahkan seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial, “jangan menyebut dia (AN) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.” Nalar pincang yang menghebohkan. Ditulis oleh balairungpress.com. Victim blaming kali itu dilakukan oleh pihak sekolah.

Kabar terakhir dari kasus ini, Februari 2019 terjadi kesepakatan tertulis dari kedua pihak untuk melakukan perdamaian. Seperti dilangsir oleh idntimes.com, semua pihak terkait telah melakukan perjanjian perdamaian bermeterai. Kemudian Pihak UGM berharap Polda DIY untuk menghentikan penyelidikan. Dan HS bisa diwisuda pada Mei 2019.

Masih seputar menyalahkan korban, di Lombok, seorang guru perempuan berinisial BN dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp 500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam merekam percakapan bukti asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya. Media international seperti AsiaSentinel.com juga menyoroti kasus ini. Menganggap #MeToo Indonesia telah gagal.

#MulaiBicara

Menghadapi victim blaming, Lentera Sintas Indonesia mengajukan petisi melalui change.org. Yayasan yang berdiri pada 11 Mei 2011 dan dibentuk dengan tujuan mendukung pemulihan penyintas kekerasan seksual ini membuat petisi #MulaiBicara. Diajukan kepada Komisi VIII DPR RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Presiden Joko widodo, serta Ketua dan para Wakil Ketua DPR RI. Pada saat tulisan ini dibuat, telah terkumpul 229.259 orang yang menandatangani petisi ini.

Belajar dari semua kasus, kekuatan media sosial tidak bisa lagi dianggap remeh. Di era digital ini telah memberi kesempatan menyuarakan suara perempuan korban pelecehan yang tak tersuarakan selama bertahun-tahun. Meskipun masih jauh dari sempurna, namun perjuangan dan solidaritas perempuan di era disrupsi ini telah melahirkan feminisme gelombang keempat.

Feminisme Gelombang Keempat

Lahirnya feminisme gelombang keempat didukung oleh penggunaan teknologi berbasis internet. Gelombang ini sebenarnya dimulai sekitar tahun 2012. Namun meledak saat terjadi kasus Weinstein.

Feminis Gelombang Keempat mengadvokasi perwakilan yang lebih besar dari kelompok-kelompok dalam politik dan bisnis. Feminisme gerakan baru perempuan progresif yang menuntut keadilan sosial dan kebebasan berekspresi. Mereka berpendapat bahwa masyarakat akan lebih adil bila terjadi praktik kebijakan yang menggabungkan perspektif semua warga negara. Sekaligus menggabungkan dan meneruskan cita-cita feminisme gelombang-gelombang sebelumnya.

Gelombang feminisme dimana perempuan melawan tindakan pelecehan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, Tumblr, LinkedIn dan sebagainya. Bukan dimaksudkan untuk menstigmatisasi semua pria, yang untungnya tidak berperilaku seperti ini. Tidak juga membuat para pria menjadi paranoid, namun cenderung membuat para pria yang ingin bertindak asusila sadar. Mengingatkan bahwa tindakan “iseng” mereka beresiko besar.

Gelombang-gelombang Feminisme

Sedikit catatan pengingat gelombang-gelombang feminisme. Pada feminisme gelombang pertama, para feminis lebih berfokus memperjuangkan hak politik, hak pilih perempuan atau emansipasi di bidang politik. Aliran ini sekitar tahun 1792-1960. Sedangkan feminisme gelombang kedua lebih dikenal dengan istilah Women Liberation. Kemunculannya sekitar tahun 1960 – 1980 atas ketidakpuasan praktik diskriminasi ras. Selanjutnya yaitu feminisme gelombang ketiga atau posfeminisme. Dimulai dari tahun 1980 sampai sekarang. Mengusung keragaman dan perubahan seperti globalisasi, postkolonialisme, poststrukturalisme dan postmodernisme.

Kesimpulan

Saya berharap semoga kita semakin terbuka terhadap kesadaran kolektif yang sebelumnya hanya sebuah tabu. Bukan berarti kita tidak menghormati tatanan budaya di masyarakat, namun lebih dititikberatkan pada tidak lagi mengajarkan perilaku seksisme di rumah. Yang dulunya dianggap normal dan seringkali diremehkan. Karena telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari dan secara tak sadar telah melanggengkan sistem partriarki. Hanya dengan kesadaran kolektif dan solidaritas, perjuangan mencapai keadilan sosial bisa menemukan hasil yang diinginkan.

Saya sebagai perempuan warga Indonesia yang tinggal di Eropa, memiliki tantangan tersendiri dalam kesadaran kolektif terhadap sistem patriarki termasuk perilaku seksisme. Saya telah dididik dalam sistem patriarki yang harus saya tinggalkan. Namun bukan berarti saya melupakan karakter kearifan Indonesia. Justru sebaliknya, saya selalu berusaha menunjukkan perilaku adiluhung budaya Indonesia di masyarakat tempat saya tinggal sekaligus melanjutkan cita-cita perjuangan feminis. Saya tidak kebarat-baratan tidak juga kearab-araban. Saya telah menemukan diri saya sendiri dan mencoba tetap relevan di era disrupsi.

Bagaimana dengan anda?

Salam,

Naning Scheid. Feminis gelombang keempat yang perduli terhadap perjuangan kaum perempuan.

Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Buletin PKPPA Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas PGRI Semarang Edisi April 2019.

Baca juga:
Bohong Tipis-Tipis, Berbahayakah? Stop Kekerasan dalam Pendidikan Menelisik Tantangan Generasi Z