MY NAME IS EVI(L) – Part 1 – Kematian Bruno

“Who laugh the last laugh the best.”

Kematian Bruno

Bola mata Evi hampir terlepas. Gadis berusia 13 tahun ini meloloti adegan Arya Stark — Game of Thrones — melafalkan sederet nama orang yang akan dibunuhnya. Evi menelan liurnya, menyeringai, sorot matanya berkilat. “Aku punya tujuh nama yang akan kubunuh,” bisiknya pada diri sendiri.

Sejak saat itu, Evi merapalkan nama satu persatu calon korbannya pada pagi, siang dan malam. “Irwan, Saridewi, Santosa, Endang, Wakijan, Edith, Bruno.” Berulang-ulang sesuai rangkingnya. Sudah lama Si Buruk Rupa ini menyimpan plot-plot pembunuhan dalam imajinasinya. Irwan adalah orang yang paling dibencinya. “Hmm, tunggu saja giliranmu! Aku akan melenyapkan setiap nama yang bertanggung jawab atas empat tahun neraka hidupku!”

Sasaran nomer satu adalah Bruno, seekor anjing ras Jerman. Bruno bertanggung jawab atas buruk rupa Evi Setyawulandari. Kelakuan Bruno lebih mirip serigala liar. Bagaimana mungkin seekor anjing buas yang selalu lapar dibiarkan berlari bebas di perkampungan? Saat itu Evi berusia 9 tahun, sedang berjalan menuju SD-nya yang berjarak hanya 500 meter dari rumah. Bruno menyalak berkali-kali dari kejauhan. Menjulurkan lidahnya dan berlari kencang menuju sekerumunan anak-anak. Semua orang panik dan hiruk pikuk menyelamatkan diri. Evi gendut tertinggal jauh dari teman-temannya. Seketika cengkeraman Bruno merobek seragam Evi di bagian punggung. Mengigit pipi tembemnya hingga darah muncrat membasahi wajah keduanya — Evi dan Bruno.

Untung ada Pak Haji Subkhan yang memukul Bruno dengan pipa besi rongsokan yang tergeletak di pinggir jalan. Anjing lapar itu mengaum kesakitan dan melepas pipi Evi yang gurih baginya. Segera seluruh penduduk Karangroto dari berbagai blok mengerumuni mereka. Satu ambulans membawa Evi ke rumah sakit untuk menjahit pipinya. Bruno dan Bu Romlah pemilik anjing diarak ke Polsek Genuk. Lalu Suara Merdeka, Jawa Pos, Wawasan dan koran-koran lain segera menuliskan beritanya sehari kemudian.

“Hari ini kamu akan mati dengan sangat menyakitkan, Bruno,” desis Evi sambil menggerus racun tikus padat dengan punggung sendok makan. Hati-hati sekali Evi membubuhi tulang kambing segar dengan bubuk racun. Kedua tangannya memakai sarung tangan latex. Hidungnya ditutup dengan masker dan matanya memakai kacamata las yang besar. Rambutnya tertutup oleh hair cup plastik. Tubuhnya terlindungi sempurna oleh jas hujan. Evi tidak tergesa. Dia memastikan tidak melupakan detail terkecil dalam rencananya.

Tiga puluh menit kemudian, Evi sudah siap membawa “snack” untuk Bruno. Dia mengambil sepedanya, menggantungkan tas plastik hitam berisi tulang di stang, lalu menuju kebun jagung tak jauh dari Bruno tinggal.

“Auuuuu auuuu,” Evi melonglong di antara pohon jagung setinggi tubuhnya. Lehernya terangkat ke atas. Semburat wajahnya penuh keyakinan. Tidak ada ketakutan sedikitpun. Bahkan saat Bruno akhirnya datang menyambut suara auman Evi. Kehadiran Bruno tak lagi menjadi trauma.

“Wwwrrrkk,” Evi menirukan suara anjing penuh otoritas. Matanya menatap tajam mata Bruno, “Duduk!”

Bruno meletakkan pantatnya ke tanah. Kakinya lurus menyangga tubuhnya seberat 40 kilo. Hidungnya kembang kempis mengendus bau tulang kambing. Lidahnya terjulur, nafasnya terengah-engah tidak sabar. Evi menjatuhkan semua isi tas. Tiga tulang terserak di tanah. Segera Bruno menyergap dan memberakoti tulang.

Bon appétit!” ucap Evi dengan nada datar. Menyaksikan beberapa menit kesibukan Bruno melahap daging-daging yang tersisa di pinggir tulang yang terlumuri arsenik. “Dalam satu jam, kamu akan menemui kematianmu, Bruno. Kematian yang lamban namun menyakitkan. Pertama-tama kamu akan merasakan tubuhmu lemas, lalu kepalamu berat. Detik-detik selanjutnya adalah kelumpuhan total dan nyeri pada setiap centi tubuhmu. Kamu akan mengiba ajal menjemput dengan segera, Anjing Rakus!” Senyum menyelinap di bibir tipis Evi yang tidak simetris. Dia mengelus bekas luka di pipinya hingga ke telinga. “Untung Bu Romlah sudah mati, kalau tidak tentu akan kuracuni juga.”

Evi mengambil smartphone di kantong bajunya. Memasang musik The Rolling Stones – Sympathy to the Devil. Dengan susah dia memasang headphone di telinga yang tak berdaun telinga. Bruno telah menelannya empat tahun yang lalu. Semua struktur wajah Evi koyak. Dia lebih mirip monster ketimbang seorang ABG generasi Z.

“Saatnya mengerjakan PR matematika,” katanya saat tiba di rumah. Evi mengerjakan soal koordinat kartesius dengan santai. Sesekali dia mengunyah ceriping singkong yang ada di sampingnya.

***-***

Selanjutnya: Miss Evi(l) Part 2

Baca juga:

2 Comments