Norrahman Alif: Mengaji Simbol Semiotika Melankolia

Puisi Lima Bahasa

Judul Buku : Melankolia (Puisi dalam Lima Bahasa)
Penulis: Naning Scheid
Penerbit : Pustaka Jaya
Cetakan : Pertama, 2020
134 hlm. : 15 X 20 cm
ISBN : 978-623-221-691-4

Naning Scheid bukan sekadar perempuan yang memiliki simpati yang peka pada soal-soal melankolia asmara, cinta dan kehidupan pribadi semata.

Namun lebih dari itu semua, ia juga mencoba dan berusaha menyoalkan simbol-simbol semiotika yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari – yang kemudian mengimplementasikannya ke dalam beberapa puisi yang ia tulis dengan serius.

Kesimpulan ini saya dapat setelah saya selesai membaca dan memahami 20 puisi Naning Scheid yang terkumpul dalam antologi buku puisi terbarunya, Melankolia yang memiliki lima bahasa: Indonesia, Jawa, Inggris, Prancis dan Belanda.

Sebagaimana yang Naning gemakan dalam salah satu puisinya yang berjudul Bunga-Bunga Kepalsuan hlm. 21:

1/

Senyum. Senyum menggoda

Seribu likelove; komentar

Sunyi. Hambar – ambyar,

Dari balik layar.

2/

Silikon – dada ranum

Parfum parisien – harum

Tag harga di panggal paha

Surga plastik; gemik

3/

Ketika layar dimatikan,

Realita menjadi bayangan.

Fantasi lebih sejuk dari udara

–fatamorgana.

Pada puisi di atas –Naning tampaknya ingin memotret hiperbolis kehidupan masyarakat pemuja simbol yang tak lagi memiliki jati diri sebagai makhluk hidup. Mereka lebih meyakini kenyataan virtual daripada realitas kehidupan yang kini diposisikan sebagai ladang pencarian gaya, nilai dan gambar untuk dijadikan instrumen kenyataan hidup yang mereka diami.

Mereka lebih percaya pada gambar-gambar yang diolah teknologi daripada meyakini benda-benda di alam semesta: tanpa alasan yang jelas. Atau punya alasan, tapi tak realistis. Memang benar apa yang dikatakan Naning pada paragraf 1 dalam puisinya di atas tersebut.

Akhirnya manusia-manusia yang telah bergumul dengan fantasi abai pada segala informasi lingkungan di realitas–dan tak lagi memiliki eksistensi di alam kenyataan ini. Padahal apa yang mereka hadapi/sukai saat itu sekadar bunga-bunga kepalsuan yang dibumbui narasi-narasi delusi yang menarik – telah mereduksi pola pikir dan kesadaran akan realitas yang akhirnya menjadi sekelompok masyarakat garis konsumeris.

Sebab bagi mereka apa yang tampak di laman media sosial adalah kenyataan baru yang sangat riil bagi kehidupannya sendiri. Caba kita lihat, seperti laman facebook, istragram, atau yang lebih spesifik lagi. Seperti di layar stasiun-stasiun televisi yang memang menjadi ladang simbol-simbol dusta untuk menayangkan iklan-iklan sabun mandi, sabun colek diantaranya. Bukankah adegan dan replika yang ditampilkan semacam itu sangat jauh dan tak ada korelasasinya dengan realitas yang ada.

Namun kadang kita memang lupa diri dan mudah tertipu pada gambar dan informasi yang disampaikan iklan televisi yang sifatnya ilusi dan delusi. Mau tidak mau karena sudah tuntutan hasrat dan pasar media –akhirnya telah menjadi fetis dalam kehidupan mereka sebagai pemuja simbol teknologi.

Karena ketika kesadaran hilang makna dan kehidupan hampa nilai: maka kita ataupun mereka setiap hari termasuk dalam lingkaran konsumeris. Sebab alam maya lebih nyata ketimbang alam yang mereka jalani hari ini.

Padahal semua itu sudah dijelaskan dalam kajian semiotika yang membahas realitas semu, bahwa apa yang mereka nikmati sekadar hasil foto copy realitas. Bahkan parahnya lagi hingga hari ini pun: foto copy realitas yang telah berlimpat-ganda telah menjadi ralitas umum yang wajib di taati dan diikuti. Itulah yang disebut realitas ganda setelah realitas semu –sebagaimana juga digambarkan Naning pada paragraf ke 2.

Sebagaimana Ketika layar dimatikan kata Naning – atau pada saat kesadaran akan eksistensi hidup yang sesungguhnya mulai kembali pulih. Barulah mereka mulai berpikir keritis akan realitas yang ada dengan menolak Realita menjadi bayangan lagi. Akhirnya mereka sadar kalau sejak dulu hidupnya sekadar fantasi belaka, akibat terlalu percaya pada kehidupan maya yang serba kurang dipercaya.

Maka betapa beruntungnya Indonesia memiliki penyair Naning –yang sangat peka akan hidup dalam teknologi sehari-hari yang cenderung absurd ini. Ia melalui intuisinya yang sangat kuat mengajak perasaan dan imajinasi yang telah tertuang dalam puisinya –memberi kita pelajaran untuk mengorek-ngorek kesadaran hidup dan kemewahan teknologi yang serba dusta sejak dulu.

Bukankah hidup ini semakin ke depan akan semakin sulit membedakan realitas yang riil: antara dunia virtual dan kenyataan itu sendiri. Karena sebagian besar umat manusia telah bercermin pada cermin retak. Sebab yang utuh hanya miliki kita dan alam semesta.

Pada hal lain di beberapa halaman lain saya juga menemukan puisi-puisi yang ingin bersosial ke tengah-tengah kecamuknya cinta dan rindu yang sarat melankolis. Seperti pada judul Diam Diam, Deduksi Rasa, Kita, Getir Malam di Stasiun Lempuyangan, Sajak-Sajak Pesakitan. Di antara lain juga, Naning mempuisikan tentang lanskap kota-kota yang sering ia kunjungi di masa lalu. Sebagaimana yang ia juga abadikan dalam beberapa puisinya yang berjudul; Semarang Dalam Ingatan, Raksasa, Eden, Melankolia, Bulan dari Balik Dinding Jakarta.

Dan, menariknya saya akan puisi-puisi melankolia Naning adalah –caranya ia memilih diksi-diksi untuk menyimbolkan suatu kondisi perasaan batin dengan unik –tanpa melupakan gaya lesensi puitika pada setiap bangunan bahasa puisi yang ia ciptakan. Dan juga ia memberi sumbangan besar pada permainan metafor dan personifikasi yang ia gunakan sebagai pembungkus makna.

Seperti pada lima baris di paragraf ke 2 puisi yang berjudul Paradoks Rindu Dendam hlm. 30:

Sudah kukatakan

Sia-sia menabur benih di tanah gersang

Kemarau retak tanpa tetas hujan

Air mata puisimu tak kan cukup

Menghidupi janin kosong

Entah karena puisinya memakai lirik aku, bisa jadi apa yang tergambar dalam puisinya adalah gejolak cinta si penyair itu sendiri. Tapi naas, si mu/lelaki itu telah terlanjur sia-sia mengutarakan perasaannya. Sebab si aku lirik atau Naning sendiri telah mengucap; Sia-sia menabur benih di tanah gersang, artinya Naning ingin memilih sendiri dulu atau memang tak mencintainya.

Bahkan mungkin kata Naning itu, meskipun si lelaki menangis dalam puisi menyesali benih cinta yang membusuk di tanah orang. Atau bisa juga si lelaki merayunya dengan puisi-puisi romantis agar si perempuan menjadi miliknya. Namun si perempuan tetap ngotot tak mau. Sebab ia sudah berkata: Air mata puisimu/ tak kan cukup/ Menghidupi janin kosong.

Wajah-wajah puisi yang mengandung nilai-nilai melankolia dan simiotika macam itulah yang sebagian besar mendominasi 20 puisi-puisinya yang tegas, tidak muluk-muluk mengutarakan gejolak hati dan pikiranya.

Meskipun sedikit saya temui juga, kadang dari paragraf ke paragraf di puisinya membangun maknanya sendiri-sendiri, seperti pada judul Soewarni, Semarang dalam Ingatan. Artinya satu puisi tersebut tak utuh menyampaikan maknanya yang sepatutnya memang ingin disampaikan kepada pembaca tercinta. Selain kelemahan terkecil itu. Mungkin patutlah sekiranya segala kekuarangan Naning, kita pelajari sampai menemukan bentuknya yang baik dalam puisi-puisi kita sendiri.

Sumenep, 2020

Melankolia

Norrahman Alif lahir di Jurang Ara –Sumenep –Madura. Menulis puisi dan resensi di Lesehan Sastra Yogyakarta.

Resensi terbit pertama di Jawa Pos – Radar Mojokerto, 20 September 2020

BACA JUGA

Beni Guntarman: Bagaimana Cara Menulis Haiku

Solidarisme Perempuan dalam Feminisme Gelombang Keempat

Romantisme Musim Gugur di Brussel