Pararel Antitesis dalam puisi Alchimie de la Douleur – Charles Baudelaire

Soneta octosyllabe Alchimie de la douleur yang kuterjemahkan menjadi Alkimis Sembilu adalah puisi ke-81 di buku Les Fleurs du Mal (Bunga-bunga Iblis dalam versi Indonesia), dalam bab Spleen et Idéal (Kesempurnaan dan Melankoli), terutama di siklus Melankoli. Di sini, penyair menuliskan keputusasaan yang mengerikan; luka sembilu dalam perasaannya.

 

Alchimie de la douleur

L’un t’éclaire avec son ardeur,

L’autre en toi met son deuil, Nature !

Ce qui dit à l’un : Sépulture !

Dit à l’autre : Vie et splendeur !

Hermès inconnu qui m’assistes

Et qui toujours m’intimidas,

Tu me rends l’égal de Midas,

Le plus triste des alchimistes ;

Par toi je change l’or en fer

Et le paradis en enfer ;

Dans le suaire des nuages

Je découvre un cadavre cher,

Et sur les célestes rivages

Je bâtis de grands sarcophages.

– Charles Baudelaire-

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa

Alkimis Sembilu
Satu dalam dirimu menerangi dengan gairahnya
Satu yang lain membenamkanmu dalam duka, Semesta!
Mengatakan kepada yang satu: Pemakaman!
Kepada yang lainnya: Kehidupan dan kemegahan!
Hermès1 tak dikenal yang membantuku
Dan yang selalu memberiku kepanikan,
Serupa Midas2, kau menjadikan aku
Alkimis3 yang paling menyedihkan;
Darimu kusulap emas menjadi besi, dan
Kupindai surga menjadi neraka;
Di dalam kain kafan arak-arakan awan
Kutemukan jasad adiluhung
Di sana, di atas pantai surgawi
Kubangun sarkofagus4 agung.
-Terjemahan Naning Scheid, 2021©-

 

Observasiku langsung masuk ke dalam tiga hal: (1) Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian yang menjadikannya melankolis, sebelum ia membandingkan dirinya dengan (2) Hermes Trimegistus dan Midas, untuk menggarisbawahi (3) sembilu seorang alkimis puitis.

Melankoli penyair menggunakan paralel antitesis kehidupan dan kematian

 

Pembukaan soneta pada larik pertama dan kedua ini sangat misterius karena “l’un” dan “l’autre” merupakan subjek dari puisi yang tak diketahui apa dan siapa karena kedua kata tersebut dalam bahasa Prancis masuk dalam kategori pronom indéfinis (sesuatu yang merujuk pada hal yang identitasnya tidak bisa ditentukan).

 

Percampuran misteri ditambah melankoli ditemukan kembali pada penggunakan tiga kali berturut-turut tanda seru. Sedemikian tragiskah luka hatinya hingga penegasan itu diulang-ulang dan diteriakkan? Bagiku, itulah sembilu Baudelaire.

 

Dari sisi teknis, penggunaan huruf besar pada nature, sépulture, dan vie sebagai penanda personifikasi Alam Semesta, Pemakaman, dan Kehidupan adalah skema seorang ibu bumi yang melahirkan bayi kembar yaitu kegembiraan dan kepedihan; sebuah pertentangan yang dilahirkan secara bersamaan (kusebut dalam judul pararel antitesis).

 

Sisi teknis lainnya, Baudelaire menggunakan rima berpeluk (ABBA) di kuatren pertama: ardeur/Nature/Sépulture/spendueur adalah rima kuatren pertama yang lazim digunakan dalam penulisan soneta gaya italia maupun gaya prancis. Dalam penerjemahan kuatren pertama kugunakan rima berangkai (AABB) gairahnya/Semesta/ Pemakaman/kemegahan/ tanpa mengurangi ritme puisi keseluruhan maupun sisi sembilu penyair.

Hermes Trimegistus dan Midas

Pada kuatren kedua (larik ke-5 hingga Ke-8), Baudelaire menggunakan referensi nama Hermes yang disebutnya sebagai “Hermes tak dikenal”. Dalam mitologi yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan yang bagi Baudelaire merupakan reinkarnasi dari sisi Idéal (Kesempurnaan) – merujuk pada bab puisi. Meskipun begitu, penggunaan kata “tak dikenal” sangat mengagetkan karena tentu siapa pun (pembaca mitologi yunani) mengenal sosok Hermes.

Ada lagi sosok Hermes dalam mitologi yunani-mesir yaitu Hermes Trimegistus yang juga pernah disebut Baudelaire dalam puisi Au Lecteur (Kepada Pembaca – versi Indonesia) meskipun penyebutannya di puisi tersebut di bawah nama Satan Trismégiste, dan keduanya merujuk pada sosok yang sama yaitu seorang filsuf yang juga alkimis, sosok obscure sekaligus misterius.

Selain penyebutan sosok Hermes di larik ke-5, Baudelaire menyebut nama Midas di larik ke-7. Midas adalah raja di abad pertengahan yang mempunyai kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Kekuatan yang menjadikannya mempunyai label alkimis pula.

Baudelaire mengasimilasi puisi dengan alkimia. Baginya, puisi menjadikan kata-kata menjadi mutiara atau emas. Dengan analogi ini, Baudelaire yang terkenal dengan frasanya, “Tu m’as donné ta boue, et j’en ai fait de l’or.” artinya “Kau berikan aku lumpur, dan aku menjadikannya emas permata tengah memberikan perbandingan langsung (secara hiperbola) dengan raja Midas yang mengubah segala sesuatu menjadi emas. Sebuah power yang super cool bukan? Tapi kenyataannya, Midas meminta dewa untuk menarik kembali kekuatan yang dipunyainya karena makanan dan minuman yang disentuhnya juga menjadi emas. Baudelaire pun akhirnya harus mengakui bahwa kekuatannya – mengubah kata-kata menjadi mutiara – telah menghalanginya untuk hidup bahagia.

Di sisi teknis, kuatren kedua masih menggunakan struktur rima berpeluk (ABBA).

Baudelaire: Alkimis penuh Sembilu

Pada terzina pertama kepedihan Baudelaire semakin menyayat-nyayat dengan mengatakan “mengubah emas menjadi besi/ surga menjadi neraka”; antitesis surga-neraka menggarisbawahi kegagalan penyair menemukan kebahagiaan. Alih-alih mendapatkan Idéal (Kesempurnaan), yang didapatkannya adalah Spleen (Melankoli).

Penggunaan tenses présent de l’indicatif (keterangan waktu sekarang) menunjukkan bahwa situasi yang dialaminya tak akan berubah selamanya. Semacam kebenaran universal di dalam dunianya.

Sisi teknis terzina pertama masih tergolong klasik menggunakan rima CCD, sedangkan terzina kedua rimanya telah mengobrak-abrik struktur lama sebuah sonnet peletier atau gampangnya disebut soneta gaya prancis.

Enjambement di larik 11 ke larik 12 dan struktur rima di terzina kedua adalah CDD yang merupakan hal yang tidak lazim pada zamannya. Ketidaksempurnaan struktur ini di satu sisi menjadikan Baudelaire “berbeda” dengan penyair pada eranya, di sini lain menjadi “berbeda” itu tidak selalu menyenangkan. Pernah juga to, kamu merasa berbeda dan terasing? Berarti kamu mengerti perasaan penyair.

Kesimpulan:

Alchimie de la douleur adalah soneta octosyllabe modern yang melukiskan teror batin Baudelaire.

Di mana struktur rima soneta prancis klasik biasanya adalah ABBA ABBA CCD EED, di sini strukturnya adalah ABBA ABBA CCD CDD;

Kepedihan penyair dikarenakan ia tak mendapatkan kebahagiaan dari kemampuan menulisnya. Setidaknya yang ia rasakan waktu itu karena setelah kematian Baudelaire puisinya dikaji dari sisi teknis dan Baudelaire menunjukkan kepiawaian estetika yang dipuji sebagai nouvelle beauté de la poésie (kuncup kecantikan dalam puisi) di era selanjutnya.

Penggunaan referensi yang ia gunakan: Hermes dan Midas yang merupakan sosok-sosok simbolis, ditujukan untuk pembaca yang bisa menguak misteri dari nama-nama tersebut, menjadikan puisi estetika-simbolis ini sangat diminati dan dianalisa hingga sekarang.

Catatan:

Bagi pembaca buku terjemahan Les Fleurs du Mal yang tidak sabar: Terjemahan secara integral Bunga-Bunga Iblis masih dalam tahap penyelesaian.

Alon alon asal kelakon, Mas Bro, Mbak Brey. Bukankah life is a journey not a destination? Dengan penerjemahan tanpa tergesa, kuberi waktu untuk diriku sendiri untuk meresapi segala sisi teknis dan pribadi Baudelaire. (halah ngeles)

baca juga:

Mengaji Simbol Semiotika di buku Melankolia

Aleksandrina: Struktur Puisi Klasik Teristimewa