Oleh: Vito Prasetyo,
sastrawan dan peminat literasi
SOSOK Naning Scheid cukup dikenal di komunitas dan insan sastra Indonesia. Cita-citanya untuk membawa, minimal memberi warna pada kesastraan dunia, setidaknya telah menghantarkan perpuisian Indonesia kepada cakrawala sastra baru di Eropa. Karya sastra terjemahan, khususnya sastra Prancis ke dalam beberapa bahasa, termasuk terjemahan ke Indonesia seakan memberi jalan bagi pintu masuk sastra dunia.
Jauh ke belakang, di zaman klasik dan pra-modern, ada riwayat penyair besar yang karyanya mendunia. Dan uniknya, karya tersebut tidak pupus digerus waktu hingga berabad lamanya. Sebut saja seperti: von Goethe, Arthur Rimbaud, T.S. Eliot, Albert Camus, Charles Baudelaire, dan lainnya.
Adalah Naning Scheid, seorang penyair perempuan asal Indonesia yang kini bermukim di Belgia, telah melakukan evolusi sastra dengan menerjemahkan karya-karya sastra modern Indonesia yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Khususnya karya Pramoedya Ananta Toer, mulai dikenal publik Eropa.
Upaya agar karya sastra Indonesia bisa menjangkau ke lapisan pembaca sastra, tidak menyurutkan semangat dan kegigihan Naning Scheid. Ini dibuktikan dengan terbitnya buku puisi tunggal karangannya bertajuk Melankolia, yang dicetak dalam 5 bahasa (Indonesia, Inggris, Prancis, Belanda dan Spanyol). Bagaimanapun, proses alih bahasa ini terbilang sangat langka bagi insan sastra Indonesia.
Naning Scheid, seakan mengajak pembaca menuju intuisi baru dalam buku terbarunya, “Puisi sebagai Autobiografi – Mengurai Les Fleur du Mal” (Bunga-bunga Iblis) Karya Charles Baudelaire. Ini tidak hanya memaksa pembaca mencerna teks, tetapi sekaligus mengajak pembaca untuk menelisik peristiwa-peristiwa masa lalu, sebagai bagian dari sejarah sastra.
Membaca karya sastra yang ditulis orang lain, tentunya tidak hanya sekedar mengerti dan memahami bacaan tersebut. Yang kemudian mengambil simpulan dengan sudut pandang prismatis (membias seperti warna pelangi). Bacaan yang menjadi unsur penggabungan tekstual dan kontekstual, memiliki makna tersirat di luar asumsi pembaca.
Pada satu sisi--kajian atas kajian--tentu akan memunculkan narasi pertentangan, yang kemudian menjadi alibi pembenaran atas masing-masing sudut pandang. Sebab sebuah kritik seyogianya menempatkan tolok ukur pada tempat yang sesuai. Rancunya indikator dalam karya sastra, karena kompetensi dasar selalu berada pada ruang berbeda-– subjektivitas--yang kemudian melahirkan silang pendapat yang tak kunjung habis.
Kajian atas pembacaan kembali sebuah naskah yang dituangkan dalam bentuk buku, tentu seperti menyusun kembali runutan sejarah. Membaca sebuah buku teks yang bertajuk “Puisi Sebagai Autobiografi” di dalamnya tentu ada tanggung jawab moral dan estetika budaya yang sama sekali tidak ingin mengurangi esensi isinya. Ini sangat jauh berbeda ketika kita membaca karya Marie Howe yang bertajuk Singularitas di mana pembaca hanya tergiring pada suasana distopia.
Terlepas dari sudut subjektivitas dan objektivitas, pembacaan karya Naning Scheid telah meletakkan prinsip rasionalitas yang berusaha mengalahkan penalaran teknikalitas fiksi. Mungkin tidak salah, jika meminjam istilah Plato, bahwa Naning Scheid adalah Philosopher King (leader/pemimpin bukan tukang), yang bisa dimaknai bahwa penulis juga adalah pemimpin bagi pikirannya. Di sini, Naning Scheid telah menunjukkan posisi itu.
Bagi penulis, puisi tidak hanya sekedar permainan kata-kata. Tetapi juga sebagai cakrawala yang menyingkap tabir, dari pelbagai peristiwa yang terkadang dianggap hanya sebagai tradisi perenungan. Yang kemudian mengalihkan perhatian pembaca ke dalam situasi berbeda.
Naning Scheid telah menempatkan pemikirannya, terutama dalam buku Puisi sebagai Autobiografi. Yakni, wawasan keilmuan dan pengetahuan ketika membaca karya sastra. Tidak hanya sebuah imajinasi, tetapi itu sebuah realita. Bahwa sastra telah melalui sebuah fase; sebuah sejarah yang mencatat peristiwa kekaryaan seorang penggiat sastra.
Pada konteks ini, penulis lebih menyoroti sosok Naning Scheid lewat karyanya. Bagaimana seorang Naning Scheid melahirkan kembali karya-karya beraliran simbolisme, Charles Baudelaire, yang kemudian menjadi rujukan bagi penyair besar lainnya, seperti Arthur Rimbaud, Bukowski dan lain-lain.
Dalam framing ketokohan seorang Naning Scheid memosisikan pemikirannya ke sosok berbeda. Sosok yang tampil lebih lugas sebagai ilmuwan, ketimbang sebagai penyair. Yang mana simbolitas idenya menggali karya-karya Baudelaire. Apakah ini karena pengaruh kultur yang hadir dalam kehidupan sehari-hari Naning Scheid, yang lebih dominan menggunakan bahasa Prancis? Tentu tidak!
Naning Scheid juga punya tanggung jawab sosial dan moral terhadap budaya negerinya, Indonesia. Dalam aktivitas sehari-hari, ia juga mengajarkan Bahasa Indonesia, tari-tarian tradisional Jawa, serta seni budaya Nusantara lainnya. Tanpa mengurangi bakat terpendam, sebagai seorang penyair, Naning Scheid telah menunjukkan kelasnya melalui karya-karya puisi sebagai cakrawala baru dalam sastra.
Bagaimana Naning Scheid menempatkan pemikirannya, bagaikan gumpalan embun mengalir di ruang hampa udara, ketika pagi terselubung kegerahan. Ia (sekaligus) menjadi sinar matahari di pagi hari, mengendap perlahan untuk menguapkan embun.
Atau bagaimana Naning Scheid menjelma, seolah-olah serupa Lichmera Indistincta, sebagai burung kecil yang mencecap sari bunga, yakni karya-karya Baudelaire yang sangat lama kemudian--menghamilinya--kembali dalam kurun masa berbeda.
Ada eksplorasi, rangkuman dan analisis dari misteri kegelapan dari diksi-diksi puisi Baudelaire, yang disajikan oleh Naning Scheid, untuk mengungkap duri-duri puitik yang menusuk tajam sebagai perisai simbolisme (aliran puisi) yang telah memordenisasi persajakan Prancis klasik.
Ini membuktikan, betapa dalam dan cerdasnya seorang Naning Scheid menggali kembali labirin gelap kehidupan penyairnya (Charles Baudelaire). Sehingga pembaca seakan tergiring dalam pemikiran penulisnya, antara realitas dan karya fiksi. Puisi yang sejatinya hidup dalam keabadian kata-kata, kemudian menjadi catatan-catatan peristiwa yang juga menerangkan sejarah sastra.
Charles Baudelaire tentunya hanya salah satu dari sekian banyak para pencetus sastra modern melalui sajak. Terutama modernisasi persajakan Prancis klasik, tetapi memberi efek yang sangat penting bagi perkembangan aliran-aliran sastra, baik sebagai objek maupun subjek penelitian.
Dari catatan sejarah sastra, beberapa penyair dunia mengikuti jejak Charles Baudelaire, seperti: Arthur Rimbaud, Bukowski dan lain-lain. Meski pada tulisan ini, penulis tidak ingin mengetengahkan topik tentang Charles Baudelaire, selain mengangkat pemikiran Naning Scheid dan menganggap itu adalah gagasan yang sangat menarik pada abad ini.
Kejelian seorang Naning Scheid untuk mengungkap peristiwa-peristiwa modernisasi persajakan Prancis klasik, yang terjadi pada abad ke-19 dalam buku esai puisi --- telah memberi warna baru dalam penjelajahan simbolis-estetis yang digunakan penyair Charles Baudelaire.
Ini mengingatkan kita pada sebuah lanskap sastra Indonesia. Penguatan ekosistem gerakan sastra, yang berimplikasi pada pengembangan literasi tentu menjadi bukti ekosistem sastra semakin sehat. Dengan kemajuan infrastruktur teknologi semestinya bisa lebih sehat lagi.
Bahkan Hasan Aspahani (sastrawan) pernah mengusulkan tiap tahun ada semacam Poet Laurete. Seperti di Amerika Serikat, Library of Congress mengangkat satu penyair sebagai duta sastra sepanjang tahun dan mengampanyekan sastra di kampus dan komunitas. (sumber: Kompas, 2022).
Pertanyaannya, apakah Naning Scheid mampu menjawab tantangan permasalahan ini? Kita tentu tidak berkecil hati--perlahan tapi pasti--Naning Scheid menjawabnya dengan penerjemahan buku luar ke bahasa Indonesia. Waktu akan menjawabnya.
Sebuah reflektif dalam tanggung jawab sosial, Naning Scheid mencoba menawarkan unsur-unsur balada dalam puisi berjudul: Bulan dari Balik Dinding Jakarta dari buku antologi puisi tunggal karyanya, yakni Melankolia.
Dalam larik puisinya tersusun dengan metoda fraksionasi (bagian-bagian) yang menggambarkan tiga peristiwa dalam sebuah cerita. Bagian-bagian puisi ini tentu menjadi frontal dalam sisi kehidupan sehari-hari. Pembaca harus jeli dalam merangkum peristiwa, karena pembaca seakan tergiring oleh sebuah redefinisi puisi. Bahwa, puisi akan menjadi multitafsir; tergantung sudut pandang dalam menganalisisnya.
Bisa jadi, karena proses penulisan puisi oleh Naning Scheid seakan ingin menembus batas ruang imajinasi, khususnya dalam puisi, gagasan yang dituliskannya tentang peristiwa di Indonesia. Namun dalam saat bersamaan, puisi ditulis dalam situasi visualisasi sedang berada di Eropa. Sehingga, terkesan seperti ada gaya neo-klasik yang mengiringinya. Sudut pandang bisa menjadikan redefinisi puisi berbeda.
Dalam framing puisi, Naning Scheid terus konsisten berkarya. Semisal embun dini hari yang setia mendinginkan malam-malam gerah tanpa kata. Naning Scheid menjadi embun yang begitu lembut untuk melahirkan kesejukan. Sinar pagi menanti dalam kata-kata yang menerjemahkan udara sejuk. Melalui karya-karya terjemahan, ada harapan yang menjadi sebuah manifesto pemikiran dalam membangkitkan gairah sastra dunia. ***

Naning Scheid is a wordsmith, metaphrast, scholar, and thespian whose work moves fluidly between poetry, translation, scholarship, and performance. Born in Indonesia and based in Brussels, she inhabits the space where languages, cultures, and histories intersect, crafting literary and performative experiences that transform meaning across borders.
Her poetry and translations explore the resonance of classical and contemporary texts, bringing Indonesian and French literary traditions into dialogue. Through her translations of La Fontaine, Hugo, Baudelaire, Rimbaud and other canonical voices, she reimagines melancholy, beauty, and wit in ways that speak to a global audience while remaining rooted in the specificity of each language.
As a scholar of comparative literature, she examines the intertextual and transcultural currents that shape literary imagination, illuminating the subtle ways stories, myths, and poetics migrate across time and place. Her research on transcultural intertextuality and transnational literary reception has been published internationally, contributing to ongoing conversations in contemporary literary studies
Related
Related Posts
-
Tips Hidup Bersama Sastra dari Naning Scheid
PojokTIM– Wajahnya tak pernah lepas dari senyum semringah. Gayanya tetap enerjik tanpa tanda-tanda kelelahan. Padahal…
