Lima Puisi Terbaik Tema Demokrasi, Salah Satunya dari Aceh
14 August 2025
Peluncuran antologi puisi Warna Kitab Suara di Bawaslu Kulon Progo, Yogyakarta, Jumat, 15 Agustus 2025. Foto: Bawaslu Kulon Progo.
Byklik.com | Kulon Progo – Kurator Lomba Cipta Puisi bertema pemilu dan demokrasi, memilih lima puisi terbaik dari 20 puisi yang masuk nominasi. Salah satu puisi yang terpilih adalah karya Ayi Jufridar, anggota Panwaslih Kota Lhokseumawe sekaligus penulis Aceh.
Berdasarkan pengumuman Bawaslu Kulon Progo, kelima puisi terbaik itu adalah Pada Pemilu karya Naning Scheid (Brussel, Belgia), Kitab Suara karya Ayi Jufridar (Lhokseumawe, Aceh), Demokrasi yang Duduk di Warung Kopi karya Nadifa Rachmah (Banyuwangi, Jawa Timur), Tak Ada Tanggal Merah untuk Kami karya Eddy Pranata PNP (Banyumas, Jawa Tengah), dan Di Ujung Kertas Suara karya Aprianus Putrason Niro (Malaka, Nuta Tenggara Timur).
Selain itu, dewan juri juga memilih tiga puisi favorit masing-masing Di Day karya Ika Zardy Saleha, Lala dan Langkah Bapak karya Riliana, dan Aku dan Amplop Putih karya Hendri Sulistya. Ketiga berasal dari Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketua Bawaslu Kulon Progo, Marwanto, menyebutkan lima Puisi Pilihan dan tiga Puisi Favorit tersebut merupakan hasil kurasi ketat dewan juri dari 134 puisi karya penyair di dalam dan luar negeri (Belgia dan Malaysia). “Juri kemudian menyaring 88 karya yang masuk dalam antologi puisi Warna Kitab Suara,” ungkap Marwanto di Kantor Bawaslu Kulon Progo, Jumat, 15 Agustus 2025.
Ditambahkan Marwanto yang juga menjadi salah satu juri, puisi yang lolos merupakan karya penyair dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri seperti Brussel (Belgia) dan Malaysia. Puisi lainnya datang dari berbagai kota di Indonesia, mulai dari Lhokseumawe (Aceh), Riau, Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua Barat, Kalimantan, dan banyak lagi.
Anggota Panwaslih atau Bawaslu Kota Lhokseumawe, Ayi Jufridar, merasa terhormat karena dua puisinya, Warna dan Kita Suara, masuk dalam antologi puisi tentang pemilu dan demokrasi. Diakuinya, kedua puisi tersebut terinspirasi dan pengawasan yang dilakukan pada Pemilu 2024 lalu.
“Beberapa kali saya menjadi penyelenggara pemilu, tetapi menulis puisi bertema pemilu menjadi pengalaman baru bagi saya,” ungkap Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Kota Lhokseumawe tersebut.[]
Naning Scheid is a wordsmith, metaphrast, scholar, and thespian whose work moves fluidly between poetry, translation, scholarship, and performance. Born in Indonesia and based in Brussels, she inhabits the space where languages, cultures, and histories intersect, crafting literary and performative experiences that transform meaning across borders.
Her poetry and translations explore the resonance of classical and contemporary texts, bringing Indonesian and French literary traditions into dialogue. Through her translations of La Fontaine, Hugo, Baudelaire, Rimbaud and other canonical voices, she reimagines melancholy, beauty, and wit in ways that speak to a global audience while remaining rooted in the specificity of each language.
As a scholar of comparative literature, she examines the intertextual and transcultural currents that shape literary imagination, illuminating the subtle ways stories, myths, and poetics migrate across time and place. Her research on transcultural intertextuality and transnational literary reception has been published internationally, contributing to ongoing conversations in contemporary literary studies
You must be logged in to post a comment.