Pernahkah kamu menghitung berapa kali sehari kamu berbohong terhadap orang-orang di sekitarmu? Tentang hal kecil tentunya, yang seharusnya tanpa berbohong pun tidak apa-apa.
Bohong tipis-tipis, begitu saya menamainya. Saya memberanikan diri membuat dua kategori dari bohong tipis-tipis ini: kebohongan putih dan kebohongan abu-abu. Ada yang menyenangkan ada juga yang semacam PHP.
Tidak ada efek besar dari perbuatan ini. Tidak ada kerugian materi kecuali (mungkin) kekecewaan tipis-tipis pula. Tapi pada skala tertentu kekecewaan tipis-tipis ini bisa berubah menjadi rasa sebal. Apalagi bila kebohongan tipis-tipis itu salah tempat atau selalu diulang-ulang, maka kamu akan dicap sebagai raja bohong.
Perlu dicatat. Di sini saya tidak berbicara tentang kebohongan besar.
KEBOHONGAN PUTIH
Bohong tipis-tipis adalah bagian dari “basa-basi” di kehidupan sehari-hari. Berdasarkan beberapa analisa psikologi The History of Humankind National Geographic, di sana disebut bahwa kebohongan tidak bisa dihindarkan dari kemanusian.
“Honesty may be the best policy, but scheming and dishonesty are part of what makes us human.”
Artinya “Kejujuran mungkin merupakan kebijakan terbaik, tetapi rencana licik dan ketidakjujuran adalah bagian dari apa yang membuat kita menjadi manusia.”
Sering kali kita melakukan kebohongan putih. Misalnya memberi pernyataan berlebihan namun menyenangkan kepada lawan jenis, atau ke rekan kerja, terutama boss. Bisa juga berbohong kepada pasangan untuk menjaga perasaan.
Contohnya:
• “Kecantikanmu bagai bidadari,” kata gombal untuk memikat cewek idaman. Padahal wajahnya pasaran hihihi…
• “Kangenku sudah menggunung bila sedetik saja tidak bertemu,” rayuan pacar. Padahal mereka LDR-an, kenal di dumay dan sampai sekarang belum pernah bertemu.
• “Senang sekali saya berkolaborasi dengan seorang ahli seperti anda,” kata kolega kepada teman kerjanya. Padahal dia nggak ahli-ahli amat.
• “Saya bangga bisa bekerja untuk anda, Bos!” Ini demi peningkatan karir. Hehehe…
• Dsb.
Ada juga kebohongan putih yang dimaksudkan baik, seperti:
• “Saya baik-baik saja.” Padahal dia tidak mau membuat repot atau khawatir si penanya.
• “Semua sehat, alhamdulillah.” Padahal dia sedang flu dan batuk.
• Dsb.
KEBOHONGAN ABU-ABU
Para peneliti berspekulasi bahwa berbohong adalah perilaku yang muncul tidak lama setelah kemunculan bahasa. Tata bahasa, diplomasi yang baik, hingga manipulasi tingkat tinggi diyakini bisa membuahkan hasil yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan pribadi daripada konfrontasi fisik.
Di era medsos, kemahiran bohong tipis-tipis semakin terasah bagi sebagian besar orang. Wawasan yang menunjukkan bahwa kecenderungan kita untuk menipu orang lain sama besarnya dengan kerentaan kita untuk dibohongi.
Contohnya:
• Sudah bersuami bilang janda. Beristri bilang jomblo.
• Foto profil yang tidak sama dengan aslinya.
• Pria mengaku perempuan atau sebaliknya.
• Dsb.
Herannya, kadang kita cenderung memercayai kebohongan bahkan ketika ada bukti yang menunjukkkan kebohongan tersebut. Terlanjur cinta, alasannya.
Dalam kebohongan abu-abu, bohong tipis-tipis juga kadang dimaksudkan untuk menaikkan citra. Secara umum setiap orang ingin menampilkan yang terbaik darinya di muka publik. Kita juga tidak asing dengan istilah “fake it till you make it.”
- “Saya akan menyelesaikannya. Tenang saja.” Padahal dia tidak (belum) tahu solusinya.
- “Aku udah move-on.” Padahal masih suka stalking.
- “Aku sudah memaafkan.” Padahal akun orang itu masih diblokir.
KESIMPULAN
Bohong tipis-tipis itu tidak berbahaya sebetulnya. Hanya saja, kalau bisa jujur, kenapa mesti bohong?
Apapun kebohongan yang kita ciptakan, ada dua garis merah tentang motivasi mengapa kita melakukan hal tersebut. Yang pertama adalah self-interest atau demi kepentingan pribadi dan yang kedua adalah demi peningkatan citra diri.
BERIKUT ANTOLOGI BOHONG tipis-tipis yang membuah KEKECEWAAN
#curcol #lebayBeberapa cerita nyata di bawah ini adalah tentang bohong tipis-tipis. Cerita yang benar-benar saya alami. Kadang lucu tapi kadang juga menjengkelkan.
Pura-pura lembur
Suatu hari, seorang saudara (sebut A) ingin mendatangi saya saat saya di Semarang. Tapi A sudah berjanji untuk datang pada saat yang sama ke saudara yang lain (sebut B). Pertemuan antara saya dan A pun terjadi.
Setelah pertemuan A bermaksud kirim SMS ke saya dengan bunyi: “Jangan bilang B kalau aku mampir karena aku sudah bilang B kalau aku batal ke rumahnya karena harus lembur.”
Sialnya, alih-alih SMS itu dikirim ke saya, A mengirim ke B. Padahal saat itu, saya sudah menyarankan A untuk jujur. “Bilang saja ketemu Naning, karena tidak tiap hari saya di Indonesia. Pasti B maklum.” Begitu saran saya. Tapi A memilih untuk berbohong. Maka silakan ditebak. Mereka bertengkar setelah SMS terkirim. Bahkan selama satu tahun mereka tidak saling menyapa.
PHP massal
Suatu ketika saya mengundang hampir semua teman sekolah seangkatan saya untuk berkumpul ke sebuah restoran. Saya meminta konfirmasi kedatangan mereka seminggu sebelum hari H karena saya harus reservasi restoran. Untuk menentukan berapa yang datang. Hingga ada keputusan apakah restoran akan ditutup untuk umum atau tidak. 70% bilang “In Syaa Allah”. Pada hari H mereka tidak datang dengan beragam alasan non-sense bahkan ada yang tanpa alasan. Saya komplain, apakah cukup dengan mengucap kata itu lalu membenarkan mereka untuk tidak memenuhi janji?
Pemilik restoran yang kebetulan teman saya justru lebih legowo. Dia mengingatkan saya tentang budaya di Indonesia. Sebagian besar serba spontan. Mereka tidak mau terikat. Bahkan hujan pun selalu jadi alasan menahun untuk tidak memenuhi janji kedatangan. Lalu saya jadi terlihat aneh seperti penghuni Mars, saat meminta konfirmasi dan menyusun agenda pertemuan berbulan-bulan sebelumnya.
Padahal saya tidak butuh mereka pura-pura bisa datang hanya untuk menyenangkan saya. Saya lebih senang mereka jujur. Bila tidak bisa bertemu saat itu karena kesibukan, tentu saya maklum. Tiap orang pasti sibuk dan punya prioritas masing-masing. Saya tidak akan merengek atau merajuk. Tapi mereka memilih berbohong. Apa bisa dikata, sial tingkat dewa, PHP masal menusuk saya!
Kena Hack
Suatu ketika saya dimintai pendapat oleh seorang teman Facebook tentang group maya yang dia punya. Dia ingin memberi nama baru pada group itu. Bla bla bla akhirnya disepakati nama baru group. Beberapa menit kemudian saya membaca status Facebooknya. Dia bilang: “Group kita kena hack. Saya harus mengganti nama group untuk menyelamatkan karya-karya teman-teman semua.”
Tak ayal, simpati dalam bentuk like, love dan komen pun membanjiri. Intinya mereka semua kuatir. Saya hanya bisa mengelus dada. Karena rasa hormat saya, saya tidak komen. Cuma mendesis “Hadeeh. Drama King!” Dan sejak saat itu saya lebih tahu tentang siapa orang itu.
Tidak bisa WA
Kemarin, saya bertanya kabar kepada seorang teman melalui WA karena dia terlihat online. Tapi setelah saya tunggu lebih dari 30 menit, sapaan saya tidak dijawab. Lalu saya mengirim lagi pesan untuk pamit. Mungkin dia sedang sibuk, pikir saya. Dan saya tidak ingin mengganggunya.
Setelah saya pamit, justru dia menjawab. Jawabannya tidak masuk akal: “Tadi sedang motoran, kehujanan, tidak bisa WA.” Lalu dia mengirim foto sebagai dasar perkataannya. Tapi kontradiktif.
Terlihat di foto dia berada di samping mobil dan jalanan yang tidak basah sama sekali. Weh? Saya jadi heran. Bohong kok jadi sport favorite.
Kenapa harus berbohong, bukankah niat saya hanya bertanya kabar? Tidak bisakah bereaksi sederhana. Berkata jujur seperti “Maaf tadi sedang sibuk.” Kan malah bagus nan elegan. Gitu aja kok repot!
Tentu, dengan senang hati…
Beberapa waktu lalu saya meminta kurang lebih sepuluh dari teman saya untuk memberi tanggapan atas novel pertama yang saya tulis. Masing-masing kompak bilang akan membantu. Jawaban mereka sama: “Tentu, dengan senang hati.”
Minggu berganti minggu. Hampir satu bulan saya tidak mendapat feedback. Lalu saya mencoba mengontak satu persatu. Beberapa hanya melihat pesan saya tanpa direspon. Beberapa bilang sedang dibaca belum selesai.
Melihat gelagat abu-abu mereka, saya memutuskan untuk tidak lagi menunggu dan bergantung pada mereka. Saya mengirim pesan kepada masing-masing teman. “Maaf sudah merepotkan. Saya sudah memutuskan memasukkan draft ke penerbit. Terima kasih.”
Akhirnya mereka mengatakan kalau memang tidak punya waktu untuk membaca. Dan meminta maaf telah membuat saya menunggu. Jawaban ini melegakan saya. Hanya saja seandainya mereka bisa jujur lebih awal, tentu saya tidak kehilangan 30 hari penantian.
Why do we lie?
Beberapa teman dumay yang tidak terlalu mengenal saya sering meminta saya ikut menaikkan citra karya mereka. Semacam “pujian pesanan” terhadap karya.
Tentu dengan senang hati saya melakukannya apabila karya tersebut memang baik. Tapi melalui proses membaca karya utuh tersebut dengan sebaik-baiknya.
Dan ketika saya hanya disuguhi judul dan tema tanpa membaca isi lengkapnya, tentu saya selalu menolak. Meski ada iming-iming ini itu. Karena saya memuji semata hanya untuk mengapresiasi secara murni. Dan pujian saya tidak dapat dibeli.
Meskipun jujur saya katakan, beberapa kali saya menjadi model iklan produk tertentu. Padahal dalam keseharian saya bukan pemakai produk tersebut. Saya mendapat fee dan bingkisan produk dengan hanya duduk manis lalu dipotret sembari berpose dengan produk. Apakah ini juga terkategori bohong tipis-tipis? Mungkin saja. Dan ternyata saya juga sering berbohong tipis-tipis pula. Hahaha…
Hanya saja secara umum saya berusaha untuk jujur. Contohnya: (1) Pas nggak punya duit, ya saya jujur gaes. Tidak perlu sok kaya. Hehehe… (2) Pas belum bisa nulis bagus ya saya sibuk belajar lagi, gaes. Bukan cuma sibuk mendekati penulis-penulis besar biar “tampak” besar.
Satu yang pasti adalah saya selalu mengingatkan diri: Bila jujur udah tampak keren, ngapain bohong? Iya toh?
Begitulah. Dan masih banyak lagi cerita-cerita lainnya. Kalau kamu juga pernah jadi korban bohong tipis-tipis, stay strong gaes. Kita senasib.
Salam Gokil!
[…] Bohong Tipis-Tipis, Berbahayakah? Stop Kekerasan dalam Pendidikan Menelisik Tantangan Generasi Z […]