Press

Ngobrol Sastra “Dari Belgia ke Madura” Bersama Naning Scheid, Luka Lama Bisa Menjelma Puisi Baru

NGOBROL SASTRA: Dari kiri, Didik Wahyudi, Naning Scheid, dan A. Muttaqin, dalam acara Ngobrol Sastra Dari Belgia ke Madura di Kopi Kelud, Sabtu (25/5) malam. (KHOLIL RAMLI/JPRM)

BANGKALAN, RadarBangkalan.id – Sabtu (25/5) malam suasana Kopi Kelud, sebuah warung kopi klasik di Kelurahan Mlajah, Kecamatan Bangkalan, terasa berbeda. Biasanya ramai oleh canda dan tawa anak muda yang nongkrong.

Namun, malam itu aroma kopi beradu akrab dengan suasana kontemplatif. Yakni, Ngobras alias Ngobrol Sastra bertajuk Dari Belgia ke MaduraAcara tersebut terselenggara atas kerja sama Juang Flutes dengan Komunitas Bawah Arus Bangkalan

Bukan tanpa alasan tema ini dipilih. Juang Flutes bersama Komunitas Bawah Arus kedatangan tamu istimewa. Yakni, Naning Scheid, penyair Indonesia yang kini tinggal di Brussel, Belgia.

Meski tinggal jauh di Eropa, puisinya tetap berakar pada tanah kelahirannya, Indonesia.

Sebelum diskusi dimulai, panggung kecil di sudut kedai disulap menjadi ruang perenungan. Musikalisasi puisi yang dibawakan Elok Teja Suminar bersama Timur Budi Raja menyihir para pengunjung.

Syahdu, romantis, dan hangat. Obrolan sastra pun mengalir seperti kopi yang tak pernah basi dibicarakan.

”Sastra itu tidak melulu soal kata-kata, tapi juga soal budaya, pengetahuan, dan kesadaran akan akar,” tutur Timur membuka acara. Baginya, ngobras kali ini adalah letupan kecil —yang diam-diam mengubah banyak hal.

Turut hadir dua penyair lain sebagai pemantik, yakni A. Muttaqin dan Didik Wahyudi. Keduanya membawa perenungan mendalam soal proses kreatif dalam menulis puisi. ”Puisi itu bukan ledakan spontan,” ucap A. Muttaqin.

Dia menekankan bahwa penyair tak bisa menulis dalam ruang hampa. Membaca karya penyair lain adalah langkah awal yang tak terhindarkan. ”Bahkan, dalam diam sekalipun, seorang penulis sedang berdialog dengan para penyair pendahulunya,” ujarnya. 

Hal itu juga diakui oleh Naning. ”Saya tak pernah sengaja meniru siapa pun. Namun, pengaruh dari bacaan akan tetap hidup dalam pilihan diksi, gaya, dan nada puisi saya,” katanya.

Sebagai penyair perantau, Naning menulis dari Brussel. Namun, aroma Indonesia —dengan segala kerinduannya— tetap melekat dalam larik-larik puisinya.

Didik Wahyudi menangkap itu dengan tajam. ”Pilihan bahasanya tidak berubah. Tidak mencoba menjadi Eropa. Puisinya tetap 'Indonesia' dalam cara yang sangat personal,” tuturnya.

Bagi Naning, sumber puisi tak selalu datang dari perasaan jatuh cinta yang baru. Kadang, cukup dengan mengaduk kembali luka lama, kenangan yang masih menggantung, atau rindu yang tak pernah sembuh.

”Saya olah semuanya menjadi puisi. Kadang saya pilih judul yang sedikit ”nakal” supaya pembaca berhenti dan berpikir,” ungkapnya sembari tersenyum.

Diskusi malam itu mengalir tanpa batas, sehangat kopi dan seintim pertemuan yang tak direncanakan.

Para pengunjung, kebanyakan anak muda, larut dalam perbincangan yang membawa mereka pada satu kesadaran bahwa puisi bisa menjadi jalan pulang—dari mana pun seseorang menulisnya.

Dan malam itu, dari Brussel hingga Bangkalan, jarak terasa tak lagi penting. Sebab dalam puisi, yang jauh bisa menjadi dekat, dan yang lama bisa kembali hidup—cukup dengan satu kata, satu luka, satu kenangan. (lil/luq)

Sumber : RADAR BANGKALAN

Share this :