MY NAME IS EVI(L) – Part 3 – Investigasi Polisi

#MissEvil (Part 3)

Some secrets never leave us alone.”

Evi tersenyum melihat jasad Edith tergeletak di halaman sekolah. Terlentang dengan tangan kanan masih memegang lehernya dan tangan kiri terkulai. Mata Edith melotot meregang nyawa terakhirnya. Bibir merah mudanya menjadi biru. Kue black forest masih terserak di lantai. Bella dan Mariana masih histeris.

“Mampus lu dihajar sianida. Cuma lima menit sudah KO, hi hi hi…” Tawa kepuasan merambati darah psikopat Evi. Matanya berubah warna seperti mata kucing di kegelapan. Berbinar-binar dan benderang.

Senyum kemenangan Evi segera tertangkap mata oleh seorang polisi di depannya. Evi mendadak gugup. Pelan-pelan dia meninggalkan kerumunan massa.

Sekolah di tutup selama tiga hari untuk olah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Hanya beberapa siswa dan guru yang diminta datang. Evi tidak termasuk. Dari kasak kusuk di WAG (WhatsApp Group) sekolah, polisi tidak sembarangan menyimpulkan kematian Edith adalah kasus bunuh diri. Meskipun telah diketemukan surat terakhir gadis 15 tahun itu. Unit Reskrim Polsek Genuk masih menghujani Bella, Mariana, dan Hendra dengan pertanyaan-pertanyaan dari pagi hingga petang.

Sejak kasus kematian Edith, WAG sekolah tidak pernah sepi. Dalam satu jam, ada setidaknya 1000 notifikasi. Bahkan surat terakhir Edith menjadi gunjingan hangat di grup.

Maafkan semua kesalahanku.

Biarkan aku mengakhiri semuanya.

Selamat tinggal.

miss evil

*

Hari kedua sejak kematian Edith. Sekolah masih libur. Evi membersihkan rumah Mbah Djarmi pada pagi hari. Setelah itu dia ingin mampir ke sekolahnya untuk melihat perkembangan penyelidikan secara langsung. Evi memang harus bekerja karena kedua orang tuanya tidak pernah meninggalkan uang untuknya. Ayah Evi sudah sejak lama lari dengan wanita lain. Ibu Evi jarang pulang. Hanya Mbah Djarmi – janda tua rabun — yang baik dan dermawan kepadanya. Evi biasa memasak, berbelanja, mencuci dan membersihkan rumah wanita sebatang kara itu. Dari bekerja serabutan di rumah tetangganya inilah Evi bisa makan dan sekolah. Bahkan dari uang Mbah Djarmi, Evi bisa membeli apel impor — Granny Smith — yang mahal. Dari biji-biji apel itulah Evi mendapatkan bubuk racun sianida.

Evi sengaja memilih apel Granny Smith karena paling banyak memiliki biji di dalamnya. Tiap buah Granny Smith memiliki sekitar 10 sampai dengan 26 biji. Dari satu apel hijau tersebut, Evi bisa mengekstrak lebih dari 4 mg sianida. Kadar mematikan bagi manusia adalah sekitar 3,5 mg/kg. Dengan 45 kilogram berat badan Edith, dibutuhkan sekitar 157,5 miligram atau sebanyak 40 apel. Biji-biji itu dia keringkan, ditumbuk, dan disaring hingga berbentuk bubuk. Lalu dia taburkan dengan hati-hati di frosting kue black forest saat menyelinap di kelas Mariana; tempat kue itu disimpan pada hari kematian Edith.

Siang setelah bekerja di rumah Mbah Djarmi, Evi ke sekolah. Diam- diam dia mengintai dari balik gerobak nasi kucing yang beroperasi pada malam hari. Matanya menyapu semua sudut sekolah. Suasana sekolah sepi. Hanya ada beberapa polisi mondar mandir dan tiga orang guru. Terdapat pula pita kuning bertuliskan “Dilarang Melintas Garis Polisi” beserta bekas kapur putih yang menggambar tubuh Edith saat meninggal.

“Pelaku kejahatan biasanya akan kembali ke TKP,” kata seorang polisi yang tiba-tiba ada di samping Evi.

Evi terkejut bukan kepalang mendengar kalimat tersebut. Dia sama sekali tidak mengira akan bertemu dengan polisi itu lagi. Polisi yang menatapnya saat dia tersenyum melihat Edith mati.

“O, begitu ya, Pak,” jawab Evi pura-pura dungu.

“Iya, untuk melihat hasil kejahatannya.”

Evi merasa tidak nyaman. Dia meremas-remas tangannya sendiri di dalam saku celana jeans-nya. Menyembunyikan kekhawatirannya. Pernyataan polisi itu membuat jantung Evi berdetak kencang.

“Kamu kenal Edith?”

“Semua orang kenal Edith, Pak.”

“Ha ha ha… kamu pintar menjawab ternyata! Siapa namamu?”

“Evi, Pak. Evi Setyawulandari.”

Polisi itu tersenyum. Evi meliriknya. Menganalisa lawan bicaranya. DIKA S NUGROHO. Polisi berusia sekitar 40 tahun dengan sorot mata tajam.

“Vi, menurutmu kenapa ada orang yang ingin membunuh Edith?”

“Dia bunuh diri kok, Pak Ipda Dika. Eh, maaf saya keceplosan. Saya membaca nama dan tanda satu balok emas, Bapak.”

“Nggak apa-apa. Kamu suka mengamati ternyata,” ujar Pak Dika dengan tatapan melucuti Evi. “Hmm… bunuh diri menurutmu?”

“Pasti. Kak Edith malu karena foto-foto panas dan video asusilanya tersebar di publik. Dan ada surat terakhirnya, Pak,” jawab Evi menggebu seolah ingin meyakinkan polisi itu.

“Edith bukan tipe orang yang mudah bunuh diri. Cantik, populer, banyak fans dan kaya. Untuk apa dia mengakhiri hidupnya yang indah? Justru orang seperti kamu yang rentan bunuh diri.”

“Maksud, Bapak?”

“Karena kamu miskin, sebatang kara, dan tak punya teman kecuali kucing. Kamu punya seribu alasan untuk mengakhiri hidupmu.”

“Bagaimana Bapak tahu saya miskin dan terlantar?”

“Otot-otot tangan kananmu jauh lebih besar dibanding tangan kiri, menunjukkan kamu sudah bekerja dengan sangat keras. Untuk apa gadis seusia kamu bekerja amat keras? Tentu karena kamu tidak punya pilihan lain untuk survive. Kamu harus menghidupi dirimu sendiri.”

“Ayah dan Ibu memang menelantarkan saya. Mereka malu punya anak dengan muka menjijikkan. Mungkin karena wajah seperti ini, saya tidak punya teman. Tapi darimana Bapak tahu saya suka kucing?”

“Orang yang selalu bersentuhan dengan binatang jarang menduga ada aroma hewan yang menempel di pakaian mereka. Aku tahu kamu suka kucing karena bajumu bau kucing dan ada beberapa bulu yang menempel.”

Pak Dika mengambil beberapa helai bulu kucing yang menempel di bahu Evi. Gadis berusia 13 tahun itu diam mematung. Jantungnya masih berdetak kencang. Dia takut, polisi itu akan meringkusnya sebelum dia sempat membunuh lima orang yang ada dalam daftar korbannya. “Irwan, Saridewi, Santosa, Endang, dan Wakijan.”

“Hmm… bulu kucing liar atau kucing pasar. Yang pasti bukan kucing kamu. Menghidupi dirimu sendiri saja sudah payah. Tentu kamu tidak ingin repot memelihara kucing bukan?”

Mulut Evi tertutup erat. Tangannya mendadak dingin. Dia pucat. Apa maksud Polisi itu bertanya banyak hal padanya? Apakah Pak Dika tahu dirinyalah yang membunuh Edith? Evi tak tahu.

Yang Evi tahu, dia harus ekstra hati-hati sekarang. Kehadiran Pak Dika tidak ada dalam rencananya. Dan Evi yakin, Pak Dika, bukan polisi sembarangan. Evi harus bersabar dengan menghitung ulang semua siasatnya sebelum membunuh Wakijan.

Kematian Edith (Part 2) tidak sama dengan kematian Bruno (Part 1). Karena sejak kematian kakak kelasnya itu, Pak Dika muncul. Polisi dengan ilmu deduksi tingkat tinggi. Tebakannya tepat. Evi tidak ragu memastikan bahwa insting Pak Dika bagus. Evi tak sabar untuk segera pulang dan melenyapkan semua barang bukti yang bisa menyeretnya ke Polsek Genuk.

Kedatangan bus menyelamatkan Evi dari pertanyaan-pertanyaan Pak Dika. Evi pergi tanpa pamit. Dia berlari menaiki TransJateng. Meninggalkan kesan yang sangat janggal di mata polisi kriminal itu.

“Lari Miss Evil… Lari. Karena aku akan segera menangkapmu,” gumam Ipda Dika S Nugroho.

BACA JUGA

2 Comments