STOP Kekerasan dalam Pendidikan

Sebuah Renungan atas Kisah Tragis Guru Budi di Sampang

Pertama-tama saya turut berduka cita atas tewasnya guru honorer mata pelajaran Kesenian, Ahmad Budi Cahyanto di Sampang, Jawa Timur.

Saya prihatin atas insiden tersebut dan keprihatinan yang jauh lebih dalam saya tujukan kepada fenomena anak didik yang tumbuh agresif serta menggunakan kekerasan sebagai jawaban di setiap kekesalan.

Pertanyaannya, ini salah siapa ?

Mari kita renungkan bersama.

Jauh dari dalam hati kita sebagai orang tua atau guru, pasti tahu, bahwa mendidik generasi milenial butuh ekstra energi dan strategi. Generasi ini sangat kritis serta mempunyai banyak potensi hebat karena mereka lahir dan tumbuh besar bersama pesatnya perkembangan teknologi komunikasi.

Tidak ada yang salah dengan tumbuh besar bersama pesatnya perkembangan teknologi. Kita hanya butuh mengarahkan dan memberi perhatian yang lebih mendalam sehingga teknologi yang fantastik ini tidak hanya mencetak para milenial sebagai sekedar generasi narsistik, generasi emosional, generasi galau yang doyan berita viral, atau generasi yang tidak fokus.

Madame Gokil

Bagaimana caranya ?

Tentu saya sebagai pribadi tidak punya kemampuan menjawab atau memberi solusi jitu persoalan sepelik ini. Saya hanya menawarkan opini yang mungkin bisa menjadi bahan koreksi diri atau renungan dalam merencanakan strategi pendidikan anak-anak kita secara lebih baik.

Opini yang saya tawarkan adalah memberi panutan dan lebih membekali diri.

Terbaca mudah tapi mungkin praktiknya tidak.

Memberi Panutan

Sangatlah mudah bila kita mengkambing-hitamkan internet dan pengaruh budaya luar sebagai akar masalah. Karena ini jalan paling mudah kita untuk menghindari tanggung jawab moral sebagai orang tua ataupun guru terhadap fenomena generasi yang kecanduan sosmed atau game online yang akhirnya berdampak buruk terhadap perilaku mereka, terutama agresifitas.


Madame Gokil

Sosial Media

Dalam perkembangan media sosial sekarang, jujur saja bukan hanya murid-murid yang menyukai akun Facebook, Instagram, Twitter, Pinterest, Link, Whatsapp, Viber, game online dan lain sebagainya.

Orang tua dan guru juga disibukkan dengan group-group sosial mereka, menikmati gambar-gambar yang mempertontonkan kekerasan, bully dan bahkan mengambil andil untuk mem-viral-kan yang seperti ini. Kita juga sangat hebat dan canggih dalam menunjukkan di dunia luar bahwa hidup kita amazing dari foto-foto kita. Fokus kita bukan lagi terhadap orang-orang tersayang disekitar kita tapi lebih bagaimana memberi kesan « wow » bagi publik diluar sana.

Apakah ini tidak boleh ? Tentu boleh, tapi pertanyaannya seberapa besar frekuensi kita berperilaku seperti itu dibanding dengan frekuensi berada disamping anak, membaca buku cerita untuk mereka, bermain bersama, dan bercengkerama dengan mereka tentang kehidupan mereka di sekolah ?

Untuk guru, seberapa seringkah frekuensi anda mengecek status notifikasi dari smartphone anda?Apakah smarphone anda dalam keadaan off saat anda mengajar ?

Bagaimana kita bisa melarang anak menjauhi sosmed, game online atau smarphone mereka, sedangkan kita sendiri terlihat menikmati setiap « like » yang kita terima, mempertontonkan keasikan saat smartphone di genggaman, tersenyum dan tertawa lebih sering saat melihat smarphone dibanding saat melihat polah lucu anak-anak kita ?

Agresifitas

Tanyakan pada diri sendiri, apa yang kita lakukan saat kita sedang kesal atau marah? Memukul, melempar, menampar, menjewer, mencubit, … ?

Bapak, Ibu orang tua ataupun guru, sadarkah bila kita itu contoh hidup bagi anak-anak kita.

Bila kita tidak dibekali cukup kosa-kata untuk mengekspresikan perasaan kita saat marah, atau tidak bisa membuka ruang dialog dengan pikiran dingin, saat itulah kita mencetak generasi seperti kita.

Bukankah kita menginginkan anak-anak kita lebih baik dari kita ?

Stop memberi panutan yang buruk. Biarlah segala pendidikan kekerasan yang terjadi dimasa lalu saat kita masih kecil, berhenti di generasi kita.

Tak bisa dipungkiri, agresifitas ada dalam diri kita dan dalam sifat dasar kita sebagai manusia. Hanya saja setiap orang mempunyai kemampuan berbeda dalam meredam agresifitas. Yang terpenting adalah kita sadar bahwa agresifitas bukan solusi dan tidak layak mendapat pengakuan sebagai hal positif.

Mereka, anak-anak (didik) kita cukup cerdas untuk mengerti bila diberi pengertian. Diberi hukuman positif yang mendisiplinkan dan mendidik. Kita sebagai orang tua atau guru harus lebih dilatih tentang bagaimana caranya menghukum tanpa menampar, tanpa memukul, tanpa melempar barang berbahaya yang bisa mengakibatkan resiko kematian tanpa kita sadari.

Lihatlah di luar sana, bukan orang-orang yang paling berotot yang memimpin dunia, bukan ?

 

Lebih Membekali Diri

Kita sering lupa atau tidak sadar, peran guru tidak lagi sama seperti dulu saat kita di usia sekolah. Dulu guru adalah dewata yang tahu segalanya, setidaknya itulah perasaan saya sebagai murid saat diajar. Kagum atas ilmu dari guru-guru, mendengar, mencatat dan memperhatikan dengan seksama setiap wejangan dari bapak-ibu guru.

Lalu apa yang terjadi sekarang dalam dunia yang serba instan ?

Saat murid-murid butuh ilmu, mereka tinggal « OK google » dan bertanya. Lalu dijawab pula oleh wikipedia dengan sedetil-detilnya.

Saat anak-anak didik kita melihat para YouTuber yang super tajir hanya dengan video-video yang menghibur yang seringnya sama sekali tidak mendidik, mereka mengubah mimpi mereka dari mimpi-mimpi klasik menjadi dokter, pilot, presiden, menjadi YouTuber yang punya vlog dan jutaan followers. Dengan cukup modal nekat dan percaya diri yang tinggi, tanpa bekal ilmu tinggi pun bisa jadi kaya. Praktis bukan ?

Disaat yang sama, guru-guru masih mengajar kids zaman now dengan metode-metode jadul seperti di zaman old. Mempersiapkan masa depan para milenial persis seperti saat mereka terlatih dan terdidik seperti dulu. Guru zaman now lupa, begitu cepatnya laju informasi yang didapat siswa dari berbagai sumber online : internet, google, sosial media dsb membuat eksistensi guru, standing guru tidak semegah dan semenarik seperti dulu.

Guru-guru hanya menjadi model statik yang boring bagi mereka. Yang hanya mampu memberi PR, memberi hapalan-hapalan, berbicara hal yang tidak lagi up-to-date, bla-bla-bla tentang kerja keras supaya mendapat nilai akademik yang bagus supaya mereka sukses nantinya…

Disisi lain, apa yang ditawarkan media online ? Hmmm… funs, distractions, joy. Lalu salahkah siswa bila lebih ingin bersama smarphone mereka ketimbang guru atau orang tua ?

Madame Gokil

Untuk itulah kita sebagai orang tua atau guru harus lebih membekali diri. Memperbaiki diri dalam berkompetisi dengan segala godaan sosial media diluar sana. Merancang strategi untuk menjadi lebih menarik dan lebih kreatif misalnya.

Kemudian berharap para pemimpin yang berhubungan langsung dalam bidang pendidikan memperbaiki pula sistem lama dengan paradigma baru yang bisa menjadi solusi langsung terhadap perkembangan emosi dan perilaku kids zaman now menuju pendidikan berbudaya dan berbudi pekerti tinggi.

Memberikan mata pelajaran « waspada internet » kepada anak didik misalnya atau memberi beberapa seminar maupun diklat singkat untuk guru-guru yang juga melibatkan orang tua murid tentang bahaya internet dan bagaimana cara memproteksi anak-anak kita terhadap aplikasi-aplikasi yang mengandung unsur bully, kekerasan maupun pornografi.

Perilaku murid memukul guru, adalah anomali, sikap anarkis yang berbanding terbalik dengan norma kesantunan kita dan harus disikapi dengan tegas.

Ini juga merupakan “wake-up call” bagi kita para orang tua dan guru untuk menyikapinya secara lebih serius.

Akhirnya, harapan saya adalah kita bersama menyelamatkan generasi penerus kita untuk tantangan masa depan mereka secara lebih baik dan lebih bijaksana.

Salam,

Naning Scheid

Orang tua sekaligus mantan guru yang tetap cinta terhadap dunia pendidikan Indonesia.


Santa Claus VS Saint Nicolas


8 Fakta Menakjubkan tentang Belgia

3 Comments