Puisi Romantis

naning scheid

CARPE DIEM

Senja menjalari tubuhku yang cemas
Garis-garis pikiran membekas
Gusar berjalan berjijit
Menghentak tanya

“Mas, apakah pelangi selalu menanti
di hari-hari panjang kita?”

“Dek Nan, mengalir saja.
Melihat masa depan bukan tugas kita.
Aku mencintaimu hari ini.

Dan selebihnya, kita berusaha tapi takdir punya rencana.
Nikmati nikmat hari ini. Carpe Diem.”

Ku layang senyum mengembang
Mengamini bait bait gombal
Dari yang tersayang.

Brussel, 7.12.18

 

KITA

Biarkan badai melambat di wajahmu. Mengukir garis cerita kita. Dan, kubiarkan kulitku usang di atas kulitmu. Melampaui ketinggian tanpa vertigo.

Malam ini kita bungkus sejarah dalam kain seprai coklat kayu, lalu melanjutkan denyut perjalanan kepercayaan.

Tanganmu menggenggam tanganku, atau sebaliknya. Ah, siapa perduli!
Sebab kita lupa apa milik siapa.

Brussel, 3.3.19

KENANGAN DENGANMU

Fragmen musim panas tahun lalu masih mengepul di kepalaku

Tentang plot tak terduga. Misteri petualangan menyusuri lorong rahasia di keramaian kota Kau pasti lupa!
Aku berpura anggun,
menyimpan beribu meriam
gelora yang siap diledakkan

Sayang, rembulan turun tergesa saat itu
meremang di kulit harimaumu
cinta seperti pasir tertiup angin mediterania; melingkar lingkar di udara sebelum menghilang
atau kembali bergumul dengan gelombang

Ah, bibirmu adalah mariyuana
Surga abu-abu berlabel rindu
Membawa kaki kita berjingkat-jingkat di nirwana menuju maumu

Malam ini, aku memikirkanmu
Meresapi kita

Brussel, 2019

Puisi ini terbit di Pos Bali 14 Desember 2019 halaman 10.

KUTUNGGU KAU DI BATAS WAKTU

Kekasih, mendekatlah…Diruang semesta milik kita
Mendendang lagi kidung asmara
Bercumbu mesra, bertatap penuh makna

Mengapa menghindari?
Terpis gariah seribu nyala api
Mengapa banyak alasan?
Bermain peran dustai perasaan

Kekasih, mendekatlah…
Peluk tubuh dingin pada guguran musim
Tanpamu, hijau daun menghitam
Tanpamu, kematian perlahan.

Brussel, 16.8.18

 

PALOMA

Kau menelan cemburu yang mentah
bersama patahan hati dalam irisan melankoli
Resah tersaji di gelas cocktail,
melarutkan wajah rembulan sang kekasih bersama batu-batu kristal beribu rival;

Matamu api. Menyaksi para insan haus belaian beradu, memutari gelas,
mencoba tersesat di kedalamannya,
persis sepertimu.

Getir. Suaramu berasap dan parau. Kau segera menyebutnya, lintah!

“Kenapa kau mencengkeram lidahku dengan ganas. Menghisap dan menjadi nadi menjalari tubuhku?” sesalmu.

Berjuta cara kau coba mengeluarkannya dari mulutmu, kepalamu, hatimu.

“Mungkin di sanalah rumahku yang sebenarnya,” desah Paloma menyesap bibirmu yang kemarau.

Seketika cemburu yang kau telan, tak lagi kau risaukan.

Brussel, 19.3.19

MIMPI

Mimpi denganmu semalam
Mengajakku menoleh ke belakang,
“Inikah kenangan?”

Segera kucari cari serpihannya dalam laci masa lalu bersamamu.
Kutemukan selembar sketsa putih,
Kosong

Ku layang pandang ke depan, malaikat berbisik
“Itu harapan.”

Brussel, 3.11.18

 

SIHIR CINTA

Kan ku renggut bunga-bunga pudar di hatimu
Kau temui lagi aku, belahan jiwamu
Pada malam yang sakral di pucuk purnama
Lihatlah hamparan harapan yang ada

Kulempar padamu mantra-mantra
Agar kau selalu cinta
Selalu cinta

Brussel, 18.9.18

 

POTRETMU

Berserak waktu tak sanggup kupunguti serpihannya
Tak terhitung berapa desah bibirku memadu namamu namaku
Ribuan helai prasasti rindu
Masih melukis pelangi ilusi,
tentangmu.

Brussel, 19.06.18

AKU TAK PANDAI BERHITUNG

Berapa kali kau membuatku terluka,
aku masih cinta
Berapa bilangan pecahan
sepi dibagi sapa dalam serpihan

Berapa kuadrat harapan tercecer
dikurangi jumlah tetes airmata baper
Berapa akumulasi detak jantung rindu ditambah sesak nafas menunggu kabarmu

Berapa pula prosentasi ekspektasi romantismu
Pangkat tiga hasrat bersandar di dadamu
Berapa tinggi tingkat cemburuku
Akar pangkat desimal barisan pengertianku

Tak terukur sayang, tak terukur!
Lamun, aku bersyukur…
Karena cinta bukan ilmu hitung
Bukan investasi rugi untung

Cinta itu ledakan kepuasan kemenangan
meskipun di dalam kekalahan.

Brussel, 30.01.19

Percumbuan Koi di Tirta Gangga*

Koi kekasih, mendekatlah…

Di taman syurga milik kita, menari mendendang kidung asmara.

Bercumbu mesra, bertatap penuh makna

Mengapa menghindari, menyepi di balik arca dewata

Mengapa banyak alasan, bermain peran dustai perasaan

Koï kekasih, kemarilah…

Peluk tubuh dingin pada labirin kolam

Tanpamu, merah tubuhku menghitam

Tanpamu, kematian perlahan.

Brussel, 9.9.18

*Tirta Gangga: adalah bekas istana kerajaan yang terletak di bagian timur Pulau Bali, dekat Gunung Agung. Taman ini terkenal karena istana airnya, yang dimiliki oleh Kerajaan Karangasem.

Koleksi Puisi Naning Scheid lainnya:
Puisi Galau Puisi Sedih Puisi Masygul Puisi Lebay Puisi Gokil Puisi Satire Puisi Semarangan Puisi Dedikasi Puisi Obscure

13 Comments